PENERBITAN DAN TEKNIK PENULISAN

Download Di sini

Potret Remaja Kita Written by Asri Al-hidayah Monday, 04 September 2006



Kemajuan teknologi telah merambah ke pelosok-pelosok negeri . Satelit/ parabola yang dapat menangkap banyak channel-channel televisi , mulai dari ujung timur sampai dengan ujung barat. Internet sudah mulai memasuki di kafe-kafe, di warung-warung bahkan di rumah-rumah. Banyak hal positif yang dapat kita ambil dari merebaknya internet tersebut. Namun, tidak sedikit hal-hal negatif yang akan memperngaruhi kehidupan masyarakat, terutama kalangan remaja. Di samping itu maraknya sinetron-sinetron dan film-film layar lebar yang mengupas tentang kehidupan remaja turut pula memberikan andil yang besar terhadap perkembangan remaja dewasa ini. Hal itu disebabkan karena keingintahuan mereka yang sangat tinggi terhadap apa yang mereka lihat. Karena itulah mereka cenderung ingin mengikuti apa yang mereka lihat di televisi, film, dan internet. Padahal yang mereka lihat tidak lain adalah film-film orang dewasa, yang kebanyakan mengajarkan untuk mengkonsumsi narkoba, rokok, pergi ke diskotik, meminum minuman beralkohol, pulang sampai larut malam dan lain sebagainya.


Kita dapat melihat dengan jelas bagaimana kehidupan remaja Indonesia sekarang. Kehidupan remaja Indonesia sekarang sangat berbeda dengan kehidupan remaja pada masa lalu. Kalau orang-orang tua kita mengatakan bahwa dahulu ketika remaja mereka masih tahu bertata krama dan bersopan santun kepada kedua orangtuanya dan kepada orang lain yang lebih tua maka hal itu sudah banyak yang bergeser. Remaja sekarang banyak yang sudah tidak mengerti akan tata krama dan sopan santun. Mereka cenderung lebih berani melanggar peraturan orang tua mereka. Dari cara berpakaian pun antara remaja masa lalu dengan masa kini sudah sangat berbeda. Jika dahulu para orang tua kita menutup auratnya dengan rapi, maka remaja putrisaat ini sudah banyak yang berpakaian setengah jadi, serba ketat, dengan tujuan untuk memamerkan tubuh-tubuh mereka. Karena itulah kita sering mendengar berita-berita kriminal tentang obat-obat terlarang dan pemerkosaan.

Zaman telah berganti, banyak dunia perfilman yang menayangkan film kebarat-baratan, yang identik dengan pergaulan bebas dan kekerasan . Itu semua dapat mempengaruhi kehidupan remaja kita. Di Indonesia sudah banyak remaja putri yang sudah tidak peduli dengan sebuah keperawanan. Bukan hanya di Jakarta saja remaja putri berkelakuan bebas. Di Bandung atau di kota-kota lain pun sudah mulai ada. 

Film-film Indonesia abad 21 ini sudah banyak yang menayangkan adegan kebarat-baratan, misalnya, sudah berani berciuman, mencontohkan bagaimana mengisap narkoba, cara berpakaian pun sudah berani mengenakan you can see, tank top, pokoknya sudah berani memamerkan perut, dan organ tubuh lainnya yang termasuk aurat wanita. Banyak musik-musik rock&roll, R&B. Sedangkan musik tradisional kita sudah mulai tidak dikenal lagi. Tari-tarian pun begitu, banyak yang mempelajari tari Ballet, dan break dance. 

Anak-anak remaja sudah berani melawan kepada kedua orangtua dengan cara kriminal. Di berita-berita sering ditayangkan, ada seorang remaja meminta sesuatu kepada kedua orangtuanya, orangtuanya tidak mampu membeli apa yang diminta anak tersebut, maka anak itu pun berani memaksa orang tuanya dengan kekerasan bahkan tidak segan-segan mereka berani membunuh orangtuanya (Na'udzubillah min dzalik). Mari kita bayangkan betapa parahnya akhlak yang dimiliki oleh remaja tersebut.

Kita harus menyadari bahwa kita sudah beranjak remaja, karenanya kita harus berhati-hati dalam bersikap. Terutama kepada orang tua yang telah melahirkan kita ke dunia. Balaslah kebaikan kedua orangtua kita dengan rasa kasih sayang kepada mereka berdua.

Tidak mudah memang untuk menghapuskan anak-anak remaja yang sudah terjun ke dunia gelap itu. Mereka yang telah kecanduan awalnya hanya ingin mencoba-coba. Karena itu, kita sebagai anak remaja yang beriman, jauhilah larangkan Tuhan dan ikutilah perintahNya, jangan sungguh-sungguh. Kita memang bukan manusia yang sempurna. Tetapi, kita harus memperbaiki diri kita sendiri sebelum memperbaiki kesalahan orang lain. 

Jika ada salah satu teman kita terkena narkoba, merokok atau melakukan kegiatan negatif lainnya, kita sebagai temannya wajib menegurnya. Mereka sedang sangat lemah hatinya, jadi perlu seseorang menemaninya untuk memecahkan permasalahan yang sedang menimpanya, jangan biarkan mereka tenggelam di dunia kegelapan. Niat baik kita untuk memperbaiki teman kita pasti akan diridhoi oleh Tuhan. Mudah-mudahan teman-teman remaja Indonesia kita sadar dan insyaf betapa bahayanya jika mereka mengikuti ajaran-ajaran yang dilarang oleh Agama. 

Terutama bagi remaja putri, jangan sampai mengorbankan harga dirinya hanya untuk kenikmatan dan uang semata. Sebaliknya jika mereka menutupkan auratnya insya Allah bertambah anggun dan mendapat pahala dari Allah. Namun jika mereka membuka auratnya di depan umum, disamping merendahkan harga dirinya sendiri menurut agama Allah pun akan mencatatnya sebagai dosa.. Wahai teman-teman remaja putri dan semua kaum wanita khususnya marilah kita menjaga harga diri kita sebagai wanita. Jangan sampai kita diperalat oleh uang dan kenikmatan dunia yang serba semu. Jagalah kehormatanmu. 


Jangan Remehkan Pengaruh Televisi Jakarta, Kompas

BELAKANGAN ini media massa menyajikan pandangan yang pro dan kontra terhadap draf Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Sebagian orang merasa apa yang diperdebatkan itu tak berkaitan langsung dengan kepentingan mereka, apalagi untuk anggota keluarga di rumah.
PADAHAL, JUSTRU merekalah menjadi konsumen utama siaran televisi. Apa ditampilkan pesawat di ruang keluarga sehari-hari bakal mewarnai kehidupan keluarganya kini, bahkan sampai masa mendatang. Sayangnya, selama ini bisa dikatakan tak banyak orangtua yang memberi perhatian pada pengaruh televisi terhadap tingkah laku atau kebiasaan anak-anaknya.
Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya respons pemirsa yang muncul terhadap program-program yang ditayangkan di layar kaca. Pemirsa di Indonesia tampaknya lebih suka menelan apa saja acara yang muncul pada pesawat televisinya. Mereka lebih memilih diam, dan tinggal memencet remote control bila acara yang ditampilkan satu stasiun televisi tidak sesuai dengan seleranya.
Sebagian orangtua bahkan tak peduli acara apa yang ditonton anaknya. Sepanjang si anak tidak bertanya atau bercerita, umumnya orangtua merasa apa pun yang disuguhkan televisi sebagai "teman" anaknya selama mereka tidak berada di rumah tak perlu dipermasalahkan.
Kalau toh ada pengaruh buruk televisi terhadap sebagian orang, maka sebagian lainnya menganggap hal itu sama sekali bukan urusannya. Padahal, sangat mungkin pengaruh buruk itu pun mengenai anggota keluarganya, hanya dia tak cukup jeli atau punya cukup waktu untuk memperhatikannya.
Ketika seorang ibu di Jakarta menulis surat pembaca tentang anak balitanya (berusia di bawah lima tahun) yang tiba-tiba gagap dan tidak lagi berbicara normal seperti biasa, ibu tersebut amat terkejut. Setelah diselidiki ternyata si anak mengikuti cara bicara Yoyo dalam sinetron Si Yoyo yang ditontonnya lewat layar kaca.
Meski ada keluhan yang mengemuka, toh sinetron itu tetap ditayangkan seperti biasa. Bagi umumnya pengelola stasiun televisi, sepanjang program tersebut bisa mengundang pengiklan berarti tak ada masalah.
Hal ini juga berlaku, misalnya, pada protes sebagian orangtua ketika stasiun televisi menayangkan acara anak-anak pada pagi hari. Acara itu menyerap perhatian si anak hingga mengganggu persiapan mereka pergi ke sekolah. Namun, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, maka program itu pun tetap berjalan. Silakan para orangtua sibuk membujuk anaknya agar mengalihkan perhatiannya dari layar kaca.
DARI pengamatan psikolog Elly Risman seperti dikemukakannya pada lokakarya "Mengkritisi Draf Standar Tayangan Anak dan Remaja" yang diadakan Unicef bekerja sama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) minggu lalu, orangtua yang diharapkan bisa berfungsi sebagai "sensor" untuk anak-anaknya dalam menonton televisi, kerap kali justru berfungsi sebaliknya, menjadi "pendorong" bagi anaknya untuk menonton televisi.
Dari penelitian kecil yang dilakukannya, Elly berkesimpulan, sebagian besar orangtua-terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah-justru menjadikan anak-anaknya sebagai pemirsa televisi setia.
"Kalau ibunya bekerja, mereka akan berpesan pada anaknya untuk menonton sinetron anu. Setelah ibunya pulang, si anak menceritakan kisahnya agar si ibu tak ketinggalan cerita. Atau si ibu minta anaknya nonton AFI supaya ibunya tak ketinggalan berita siapa saja yang kena eliminasi," tuturnya.
Padahal, berdasarkan penelitian YKAI seperti dikemukakan B Guntarto, sekarang ini umummya anak sudah menghabiskan waktunya di depan televisi selama 35 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari. Sedangkan idealnya, anak menonton televisi tak lebih dari dua jam per hari.
"Meskipun belakangan ini sebagian stasiun televisi sudah mencantumkan tanda bahwa program itu untuk orang dewasa, memerlukan bimbingan orangtua, atau memang acara yang dianggap pantas ditonton anak-anak, kenyataannya hanya sekitar 15 persen saja anak yang mengatakan selama menonton televisi didampingi oleh orangtuanya," Guntarto menambahkan.
Artinya, masih banyak orangtua Indonesia yang tak sadar pada dampak televisi terhadap perkembangan anak-anak mereka, apalagi mengkritisi acara-acara yang ditayangkan dari pagi hingga malam hari. Padahal, televisi sekarang ini bisa dikatakan bukan lagi barang mewah.
John Budd, Kepala Seksi Advokasi & Mobilisasi Sosial Unicef, mengatakan, televisi telah menjangkau sekitar 90 persen rumah tangga di Asia, termasuk Indonesia. Artinya, pengaruh televisi dalam kehidupan sehari-hari keluarga Indonesia tak bisa diremehkan.
Agus (33), ayah dari seorang anak laki-laki berusia 5,5 tahun, mengatakan, dia tak lagi mengizinkan anaknya menonton sinetron Si Yoyo setelah membaca keluhan ibu tentang perubahan cara bicara anaknya di koran. "Dalam sinetron Si Yoyo memang tidak ada adegan-adegan orang dewasa, tetapi di sana ada cerita tentang bencong. Dan, cara ayah si Yoyo marah-marah itu terlalu kasar buat mata anak-anak," katanya memberi alasan.
Dia termasuk orangtua yang memperhatikan apa saja acara kesukaan anaknya di layar kaca. Makanya, meski program film kartun sekalipun tak selalu bisa ditonton anaknya. "Misalnya film kartun Baby Huey. Di sini ditampilkan bagaimana salah satu tokohnya pecah dan bisa menyatu kembali dalam susunan yang kacau. Ada juga tiang dan tali untuk gantung diri. Menurut saya, hal ini terlalu berlebihan untuk anak-anak," lanjut Agus.
MEMANG tak semua pengaruh televisi bisa langsung tampak akibatnya pada anak-anak yang menjadi pemirsanya. Mungkin karena itulah sampai sekarang masih banyak orangtua yang membiarkan apa pun acara yang ingin ditonton anaknya, sepanjang itu tak lebih dari pukul 21.00.
Sebagian orangtua beranggapan, stasiun televisi telah menyeleksi program acaranya. Dengan demikian, semua acara yang ditayangkan sebelum sekitar pukul 21.00 relatif aman untuk konsumsi anak-anak. Padahal kalau dicermati, tak sedikit acara sebelum pukul 21.00 yang sebenarnya tak pantas ditonton anak-anak. Misalnya, film-film Warkop yang jelas-jelas selalu menyerempet pada hal-hal berbau seks.
Hera L Mikarsa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam lokakarya itu menyoroti antara lain program yang mengetengahkan hal-hal berbau supranatural. "Bagaimana perlindungan untuk anak-anak, terutama anak-anak prasekolah yang belum dapat membedakan realitas dan fantasi?" ujarnya.
Sebuah penelitian tentang pengaruh televisi dan kemampuan otak anak yang dilakukan para ahli dari University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, dan dimuat dalam jurnal Pediatrics menyebutkan, televisi telah mengubah cara berpikir anak. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi biasanya akan tumbuh menjadi sosok yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada lingkungan sekitar. Mereka hanya terpaku pada televisi.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 2.500 anak itu juga menyebutkan bahwa satu jam menonton televisi sehari pada anak-anak usia 0 sampai tiga tahun akibatnya baru tampak ketika mereka berusia sekitar tujuh tahun. Sebagian anak itu mengalami problem berkonsentrasi.
Padahal di Jakarta, misalnya, tak jarang seorang ibu justru mendudukkan anak balitanya di depan televisi agar si anak mau makan, atau supaya anaknya asyik menonton televisi sementara si ibu mengerjakan pekerjaan lainnya. Mereka tak sadar bahwa tayangan televisi itu akan mempengaruhi perkembangan otak si anak.
Pada usia balita perkembangan otak tumbuh pesat, dan ini dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima si anak dari lingkungan sekitarnya. Agar tak menimbulkan masalah pada anak di kemudian hari, The American Academy of Pediatrics bahkan merekomendasikan agar orangtua tak membiarkan anaknya yang berusia di bawah dua tahun untuk menonton televisi.
Begitu besarnya ketergantungan anak-maupun sebagian orangtua-pada televisi, hingga dalam menentukan tempat tujuan liburan pun sering kali keberadaan televisi menjadi salah satu pertimbangannya. Marianne (13) yang sejak kecil terbiasa ditemani televisi, bahkan memilih tidak ikut pergi daripada kehilangan acara televisi yang diminatinya.
Oleh karena itulah sebaiknya orangtua tak menyerahkan begitu saja seleksi acara yang bisa ditonton anaknya pada pengelola stasiun televisi. Jangan berharap stasiun televisi hanya menayangkan program yang cocok untuk semua umur pada jam di mana biasanya anak belum tidur.
Sebagai bagian dari industri, stasiun televisi lebih menyandarkan diri pada kepentingan bisnis demi kelangsungan hidupnya. Bisa jadi mereka tak terlalu peduli apakah program itu berpengaruh buruk atau baik untuk keluarga Anda. Salah satu faktor yang menjadi perhatian pengelola stasiun televisi adalah bagaimana membuat program yang bisa menarik minat pengiklan.
Kalau sekarang layar kaca dipenuhi dengan acara "seragam" seperti program supranatural, komedi yang menjurus ke masalah seks, atau acara kenyataan (reality show) dengan berbagai bentuknya, maka diperlukan perhatian Anda untuk menyeleksi tontonan yang disodorkan stasiun televisi.(ARN/CP)



















PENGARUH TV TERHADAP PERKEMBANGAN JIWA ANAK, OLEH ELIZABETH L,WAHYUDI, GURU BK SMP PENABUR

Begitu besarnya peran dan daya pikat yang dibuatnya membuat pengaruh televisi sering amat dominan dalam kehidupan anak Anda. Bahkan akibat lebih ekstrim, televisi dianggap anak-anak sebagai panutan, bukan Anda sebagai orang tuanya. Persoalannya kini, sebagai orang tua relakah Anda bila peran Anda diganti televisi?


Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di masa datang, sekaligus untuk mengembalikan peran orang tua sebagai panutan dalam keluarga, Australian's Children Television Action Committee mencoba memberikan pedoman. Pedoman ini dilandasi dengan berbagai penelitian. Pada dasarnya amat diharapkan agar kepada anak-anak dikembangkan sikap aktif dan kritis dalam menonton tayangan televisi, dan jangan ragu untuk menghubungi stasiun televisi apabila ada program yang disiarkan tidak sesuai atau tidak cocok dengan dunia mereka (anak-anak).


Tahukah Anda?
• Rata-rata, anak-anak menghabiskan waktu antara 3 - 3,5 jam per hari untuk menonton tayangan televisi 

  termasuk satu jam tayangan iklan.
• Selama setahun, seorang anak menyaksikan 25.000 iklan di televisi dan 90 persen dari iklan itu ditujukan 

  langsung untuk anak-anak dan menyajikan makanan-makanan bergizi rendah.
• Selama masa sekolah, anak-anak diperkirakan menyaksikan 87.000 tindakan kekerasan di televisi.
• Film-film kartun juga sering/menyuguhkan kekerasan, beberapa di antaranya menggambarkan 84 adegan 

  kekerasan per jam.
• Berbagai film kartun yang menggam barkan sejumlah tokoh, sebenarnya didasarkan pada macam-macam 

  mainan, dan tidak kurang dari 30 menit iklan digunakan untuk mempromosikan produk-produk itu.
• Anak-anak menyaksikan televisi tanpa kontrol dapat dikaitkan dengan meningkatnya kekerasan, perilaku 

  agresif, dan hasil akademik/belajar yang jelek.
• Anak-anak di bawah usia empat tahun menghadapi kesulitan dalam membedakan antara fantasi dan 

   kenyataan.
• Banyak anak-anak dirusak 'kepekaannya', dan mudah bertindak kasar. Ini merupakan salah satu akibat 
   menonton televisi.
• Menyaksikan televisi sebelum sekolah, dapat menurunkan daya tangkap anak-anak terhadap pelajaran di 

   sekolah.
• Berita-berita yang disuguhkan televisi, seringkali hanya merupakan katalog tindakan kekerasan yang dapat 

   menyebabkan ketakutan dan kebingungan di antara anak-anak.
• Penyebab utama kematian remaja adalah kecelakaan di jalanan, 50 persen darinya karena pengaruh 

  alkohol. Alkohol sering memberi gambaran glamour dan cara menarik televisi kepada penontonnya.


Akibat lebih jauh
Terlalu sering menyaksikan kekerasan, menimbulkan:
• Perilaku agresif
• Anak menjadi kurang kooperatif (tidak memiliki sikap kerja sama - red), kurang sensitif kepada yang lain.
• Keyakinan kepada anak-anak, segala persoalan hanya dapat "diselesaikan" lewat kekerasan.
• Keyakinan pada anak-anak, dunia televisi menghadirkan dunia nyata, bukan fantasi. Anak-anak menjadi 

   lebih takut.
• Sulit mengekspresikan diri. Apabila sebagian besar waktu anak-anak dihabiskan di depan televisi, dapat 

  dipastikan:
• Anak-anak tidak akan mendengarkan bila Anda berbicara kepadanya, anak-anak tidak mau berbicara 

  dengan Anda dan anak- anak sulit mengekspresikan diri.
• Mereka sering meniru kekerasan 'pahlawan televisi' dan perilakunya.
• Mereka akan sering meminta hal-hal yang diiklankan di televisi.
• Bila bermain, mereka lebih agresif daripada kreatif dan konstruktif.
• Mereka akan menemui kesulitan dalam berbaur dengan anak-anak lainnya.
• Mereka mungkin "tidak mampu" mendengarkan cerita, dan mengembangkan kebiasaan membaca.
• Anak-anak sulit tidur karena berkaitan dengan ketakutan terhadap kekerasan yang ditampilkan di televisi.
• Mereka mengharapkan pemecahan segera bila menemui berbagai masalah.


Segi positif
Meskipun televisi mengandung sejumlah unsur negatif, ia juga mempunyai segi-segi positifnya. Televisi dapat menjadi bagian kecil dari keseimbangan hidup anak Anda. Yang penting, anak-anak punya waktu cukup untuk bermain dengan teman-teman dan mainannya, punya waktu cukup untuk membaca cerita dan istirahat/tidur, punya waktu untuk berjalan-jalan dan menikmati makan bersama keluarga. Anak-anak umumnya senang belajar dengan melakukan berbagai hal, baik sendiri maupun dengan Anda.


Untuk itu kepada orang tua diharapkan untuk:
1. Membaca dan memilih acara-acara televisi yang dihadirkan berbagai media massa. Bila ada program yang 

    Anda nilai kurang cocok, jangan nyalakan pesawat televisi.
2. Beranikan diri Anda hanya membeli video games yang mengandung unsur pendidikan dan mempromosikan 

    nilai-nilai sosial.
3. Ajarilah anak Anda untuk mematikan televisi bila program yang dipilih sudah berakhir.
4. Ajaklah anak-anak membuat aturan yang masuk akal seperti:
1. a) batasan waktu untuk menyaksikan televisi
2. b) tidak boleh menonton televisi sambil makan
3. c) tidak menonton televisi sebelum sekolah
5. Coba memilih, melihat, mendiskusikan bersama anak Anda mengenai program yang sudah dipilih.
6. Dalam menyaksikan televisi, usahakan Anda terlibat di dalamnya, baik dalam menyanyi maupun aktivitas 

    lain.
7. Hubungkan program-program televisi yang disaksikan dengan pengalaman-pengalaman anak Anda.
8. Jelaskan kepada anak-anak mengenai maksud iklan-iklan yang ditayangkan dan cara-cara yang digunakan 

    untuk menjual produk.
9. Di sekolah, anak Anda sering mendapat 'tekanan' dari teman-temannya untuk menyaksikan program 

    tertentu. Mungkin Anda dapat menyaksikan program itu bersama anak Anda, dan coba jelaskan mengapa 
    program tersebut tidak pantas untuk ditonton. Dukunglah anak Anda untuk berani menentang tekanan-
    tekanan itu.
10. Berbicara bersama sebagai satu keluarga mengenai program-program televisi, termasuk iklan yang dapat 

     memberi sejumlah keuntungan untuk mendiskusikan nilai-nilai yang Anda kehendaki.


Acara televisi adalah teman main anak Anda. Jadi, tanyai diri Anda sendiri, "Apakah aku membiarkan anakku keluyuran dengan orang ini dan acara ini?"


Bahan Bacaan:
1. Chen, Milton, "ANAK-ANAK DAN TELEVISI", PT Gramedia, Jakarta.
2. "BILA TV MENJADI NAHKODA RUMAH TANGGA ANDA", Kompas, 4 April 1995.
Elizabeth L. Wahyudi, Guru Bimbingan Konseling SLTPK VII BPK Penabur KPS Jakarta.

TELEVISI, TEMAN APA MUSUH?

Anak-anak suka sekali menonton teve. Memang, teve bermanfaat buat anak. Tapi jika tidak dibatasi dan diawasi, justru berbahaya. "Ayo, makan dulu! Dari tadi, kok, di depan teve terus." Kalimat seperti ini, pasti pernah terlontar dari orangtua kepada anaknya. Terutama anak usia prasekolah, yang menurut penelitian memang menunjukkan minat lebih besar pada teve ketimbang anak usia sekolah. Sebabnya? Antara lain, anak balita cenderung terbatas teman bermainnya, masih lebih banyak tinggal di rumah, dan belum mampu bersikap kritis mengenai segala sesuatu yang dilihatnya di layar kaca. Tapi kebiasaan juga pegang peranan dalam hal ini. Banyak anak sudah dibiasakan nonton TV sejak masih bayi.


Ada orangtua menjadikan TV sebagai babysitter karena tak mau repot. Biar anaknya anteng, si kecil didudukkan di depan teve. "Bahkan ada yang untuk makan, harus sambil nonton TV. Kalau tidak, anaknya tak mau makan," kata psikolog Hera L. Mikarsa. Jelas, si kecil tak begitu saja tertarik pada TV jika Anda tak pernah memperkenalkan ia pada TV. Dan ia tak akan pernah kecanduan nonton TV jika Anda tak membiarkan ia nonton kapan saja sesuka hatinya tanpa ada batas. Bukan berarti si kecil dilarang sama sekali nongkrong di muka layar kaca.


TV, sarana belajar perilaku sosial
Bagaimanapun, TV merupakan salah satu media belajar bagi anak dan bisa memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembangnya. Yang penting, mencegahnya agar tak sampai kecanduan nonton TV. Ingatlah, anak usia ini sedang dalam tahap mengembangkan perilaku sosial. Ia harus mendapat banyak kesempatan bermain dengan teman-temannya. Karena itu, tegas Hera, jangan jadikan TV sebagai pengganti bentuk bermain. "Nonton TV itu, kan, cenderung pasif. Tak ada interaksi dua arah. Beda jika ia main dengan teman-temannya. Ia akan aktif, entah fisiknya, komunikasi, atau sosial. Jadi, ada timbal-balik, belajar saling memberi," jelas Ketua Program Profesi pada Fakultas Psikologi UI ini. 



Selain itu, anak usia ini sedang kuat-kuatnya meniru, entah perilaku atau omongan. Apa yang ia dengar dan lihat, ia ucapkan dan lakukan tanpa ia mengerti. Sering, kan, kita melihat serta mendengar, betapa fasihnya (meski masih cadel) si kecil menirukan iklan atau nyanyian yang dilihatnya di teve? CUKUP 40-45 MENIT Untuk mengurangi dampak negatif teve, Hera menganjurkan, batasi waktu nonton TV, sekitar 40-45 menit bagi anak usia ini. Hera juga menyarankan, sebagaimana dianjurkan banyak pakar, dampingi anak saat nonton TV dan pilihkan program-program yang layak untuk ia tonton. "Anda tak bisa menjadikan TV sebagai baby-sitter jika Anda mau mendidik anak menjadi pemirsa yang kritis," tukas Hera. Apa juga, TV hanyalah sebuah benda mati.


Perlu Pendampingan dan Pengawasan
Anda tak dapat menyalahkan TV jika anak lebih suka duduk berjam-jam di depan TV ketimbang melakukan aktivitas bermain lainnya atau ia jadi suka berkelahi gara-gara sering menyaksikan adegan kekerasan di TV. Seberapa besar pengaruh TV dan apakah pengaruhnya baik atau buruk terhadap anak Anda, menurut Elizabeth B. Hurlock, pakar psikologi perkembangan, ditentukan oleh jumlah bimbingan dan pengawasan terhadap anak yang menonton TV. Jika Anda menyediakan waktu untuk menafsirkan apa yang dilihat anak di layar TV, ia akan mengerti dan menafsirkan apa yang dilihatnya dengan benar. Selanjutnya, dengan bimbingan dan pengawasan atas program yang akan ditontonnya, ia dapat mempelajari pola perilaku dan nilai yang sehat yang akan membimbing ke arah sosialisasi yang baik dan tidak ke nilai serta pola perilaku yang tak sehat.


Kenapa ia harus didampingi? Kemampuan berpikir anak masih terbatas. Ia akan mengalami kesulitan mengikuti alur cerita karena keterbatasannya membedakan isi yang penting dan pokok dengan isi insidental yang bersinggungan dengan pokok utama. Sebuah isi insidental (Aldo yang gemuk jatuh tertelungkup) bisa tampak sama pentingnya dengan tema utama (Aldo dan kelompoknya hendak membantu seorang anak perempuan yang sedih karena orangtuanya bertengkar).
Ia pun mengalami kesulitan untuk memadukan unsur-unsur cerita yang berbeda yang terjadi pada waktu berlainan. Ia mungkin tak mampu menghubungkan satu adegan yang menggambarkan seorang pria bertopeng yang tengah merampok bank dengan adegan berikutnya setengah jam kemudian yang menggambarkan seorang pria ditangkap dan dipenjarakan.


Akhirnya, kesimpulan seorang ahli berikut ini patut Anda simak. 
"Jika Anda menggunakan TV sebagai penjaga anak sehingga mengabaikan hubungannya dengan orang lain, jelas Anda lalai. 
Jika Anda tak memperkenalkan buku kepada anak-anak hanya karena adanya TV, maka Anda bertindak ceroboh. 
Jika Anda tak membantu anak untuk membangun hubungan yang baik dengan teman sebayanya hanya karena TV 'menjaga mereka di rumah', maka Anda benar-benar bersalah terhadap mereka."


Apa Yang Anak Serap Dari TV? Jawabannya, banyak sekali. Semua program TV dan siaran iklan yang menyertainya, menyampaikan pesan yang berbeda-beda dan mengajarkan hal yang lain pula. Satu hal yang dicemaskan banyak orangtua ialah anak belajar kekerasan dari TV. Ini bisa dipahami. Sebab, tak sedikit adegan kekerasan muncul di layar TV, mulai dari pertengkaran mulut sampai perkelahian dan pembunuhan. Bukan cuma dalam program-program tayangan dewasa, tapi juga anak-anak. Anda tak dapat menghindari ini, tapi bisa mencegah pengaruh buruknya. Jelaskan padanya, orang-orang yang ia lihat di TV adalah aktor dan mereka melakukan itu tidak dengan sungguh-sungguh.


Atau, hapuskan semua program yang lebih banyak mengeksploitir adegan kekerasan dari daftar program TV yang sudah Anda pilih untuk anak. Jangan pula izinkan si kecil menonton program untuk dewasa. Pelajaran lain dari TV yang perlu diwaspadai ialah stereotipe sosial tentang wanita, pria, minoritas, orang lanjut usia, dan banyak kelompok lain, termasuk anak-anak. Stereotipe ini kadang dilebih-lebihkan. Misalnya, pria selalu digambarkan jadi pemimpin dalam mengatasi keadaan sementara yang wanita tetap pasif atau tak berdaya. Anak-anak belajar dari penggambaran ini terutama bila mereka hanya mempunyai sedikit kontak dengan kelompok yang digambarkan. Sebagaimana adegan kekerasan, Anda pun tak dapat menghindari adegan-adegan yang menggambarkan stereotipe sosial ini. Nah, berilah gambaran yang tepat pada anak tentang hal yang sebenarnya berlaku di masyarakat. Bukan cuma lewat kata-kata tapi juga harus diperkuat oleh perilaku Anda sehari-hari.


Bagaimana Anda sehari-hari bersikap terhadap anak Anda, misalnya, merupakan contoh bagaimana seharusnya orang dewasa memperlakukan seorang anak. Atau, bagaimana ayah memperlakukan ibu dan bagaimana ibu memperlakukan ayah, akan memberikan gambaran pada anak tentang bagaimana seharusnya seorang pria memperlakukan wanita dan sebaliknya. Ingatlah, TV akan memberikan pengaruh yang nyata pada anak, antara lain tergantung dari seberapa banyak anak dapat mengingat hal-hal yang ia tonton dan seberapa baik pemahamannya terhadap apa yang ia tonton. Jika ia menafsirkan kekerasan atau stereotipe sosial di TV sebagai pola perilaku yang direstui masyarakat dan model yang benar untuk ditiru, maka pengaruhnya akan sangat berbeda ketimbang bila ia menafsirkannya sebagai pola perilaku yang tak direstui dalam masyarakat.

PENGARUH PERSEPSI PELAJAR SMA TENTANG SINETRON REMAJA DI TELEVISI TERHADAP UPAYA PENEGAKAN TATA TERTIB SEKOLAH DI KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN TANGGAMUS LAMPUNG TAHUN 2007 OLEH ANNA AMALIA, SMAN 1 PRINGSEWU 2007

Tata tertib sekolah merupakan bentuk perwujudan dari norma-noma yang ada di masyarakat, baik norma kesopanan, norma hukum, norma agama, maupun norma kesusilaan. Yaitu merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap komponen sekolah yang diaturnya.


ABSTRAK
Tata tertib sekolah merupakan bentuk perwujudan dari norma-noma yang ada di masyarakat, baik norma kesopanan, norma hukum, norma agama, maupun norma kesusilaan. Yaitu merupakan peraturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh setiap komponen sekolah yang diaturnya. Dengan adanya tata tertib sekolah diharapkan dapat terwujud sebuah keteraturan hidup di lingkungan sekolah, hingga tujuan mendasar dari sekolah sebagai sebuah lembaga pendidik dapat tercapai dengan baik. Untuk itu diperlukan komitmen dan tanggung jawab yang besar dari pelajar sebagai subjek utama dalam penegakan tata tertib yang ada.

Banyaknya pelanggaran yang terjadi terhadap tata tertib sekolah menunjukkan adanya gejala melemahnya tata tertib sekolah. Disinyalir dari berbagai media yang ada, salah satu penyebab pelajar banyak melakukan pelanggaran tata tertib adalah semakin gencarnya terpaan teknologi informasi terutama televisi dalam menayangkan program-programnya, salah satunya adalah program sinetron remaja yang begitu diminati oleh para pelajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi pelajar SMA tentang sinetron remaja di televisi serta bagaimana pengaruh persepsi tersebut terhadap upaya penegakan tata tertib sekolah. Di samping itu, penulis juga ingin mengetahui solusi apa yang tepat untuk mengatasi melemahnya tata tertib di sekolah. Untuk mengumpulkan data penulis menggunakan metode observasi, wawancara, dokumentasi, studi pustaka dan kuesioner, sedangkan analisis datanya penulis menggunakan teknik deskriptif kualitatif .

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah, bahwa persepsi pelajar terhadap sinetron remaja ada yang negatif dan ada yang positif. Bagi pelajar yang memiliki persepsi positif terhadap sinetron remaja, mereka menganggap apa yang ditayangkan di sinetron remaja itu baik, sehingga mereka cenderung untuk meniru apa yang ditayangkan di sinetron remaja tersebut. Hal ini akan membawa pengaruh positif jika apa yang ditayangkan memang benar-benar positif. Namun sebaliknya akan membawa pengaruh negatif jika ternyata yang ditayangkan di sinetron tersebut sebenarnya hal yang bersifat negatif. Pengaruh negatif tersebut akan cenderung teraktualisasi dalam perilaku pelajar di sekolah, karena sekolah adalah tempat berkumpulnya seorang pelajar dengan pelajar yang lain. Hal ini akan menyebabkan upaya penegakan tata tertib sekolah menjadi lebih sulit, karena banyak pelajar yang terpengaruh oleh gaya hidup, gaya pakaian, maupun gaya bicara yang ditayangkan di sinetron-sinetron remaja, karena hal tersebut kebanyakan berlawanan dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.

Solusi yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi pengaruh negatif dari sinetron remaja terhadap upaya penegakan tata tertib sekolah adalah dengan melakukan kerja sama yang baik antara sekolah dengan pihak keluarga dari pelajar dalam memberikan pendidikan yang baik di rumah maupun di sekolah dan dengan penegasan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi sehingga menimbulkan efek jera bagi pelajar.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap negara pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai berdasarkan nilai dan norma tertentu. Indonesia sebagai negara kesatuan juga memiliki tujuan yang tentunya akan diwujudkan berdasarkan nilai dan norma yang sesuai dengan ideologi bangsa. Menurut UUD 1945 beberapa norma yang diakui negara Indonesia adalah norma adat, agama, moral dan hukum. Norma adalah kaidah atau pedoman dalam mewujudkan suatu nilai ( Budiyanto, Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X : 42 ).

Berdasarkan hal tersebut dapat diambil pengertian bahwa nilai dan norma tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Nilai dan norma secara bersama-sama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya demi terwujudnya suatu masyarakat yang ideal. Masyarakat ideal adalah suatu masyarakat yang harmonis, tenang dan tentram( R.R. Jay:1963 ). Untuk itulah setiap individu perlu memahami serta mematuhi norma-norma yang berlaku di lingkungan sosialnya dengan baik.

Namun pada kenyataannya saat ini banyak sekali masyarakat yang mulai tidak mengindahkan norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Banyak kita lihat di berbagai media massa, baik media cetak maupun elektronik, bahwa pergaulan bebas (Free sex) sudah tidak lagi menjadi hal yang tabu, angka kriminalitas meningkat. Ironisnya hal tersebut tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun sudah meluas hampir di seluruhnya provinsi di Indonesia. Perkembangan teknologi, khususnya teknologi informasi yang mampu menyebarkan informasi secara cepat, serentak dan jangkauan yang sangat luas, mendorong terjadinya arus pertukaran informasi dengan sangat cepat pula. Pertukaran informasi budaya yang tidak tersaring dengan baik itulah yang menyebabkan norma-norma yang berlaku di masyarakat menjadi longgar. Demikian juga halnya yang terjadi di berbagai lingkungan sekolah.

Sesuai dengan hasil pengamatan yang penulis lakukan, menunjukkan bahwa sebagian besar pelajar telah cenderung meniru apa yang ditayangkan di televisi. Hal ini juga dipertegas dengan adanya berbagai berita di koran dan majalah ramaja saat ini. Banyak pelajar yang pergi ke sekolah dengan dandanan “nyentrik”. Dari sepatu hingga gaya rambut yang berwarna-warni, nge-genk, premanisme dan masih banyak lagi gaya hidup yang diadopsi dari berbagai sinetron remaja yang ditayangkan di televisi. Padahal sejatinya, hal-hal tersebut terkadang tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku, khususnya norma yang berlaku di sekolah yang diwujudkan dalam bentuk tata tertib sekolah. Tidak hanya itu, adegan-adegan kekerasan, seperti tawuran bahkan pergaulan bebas pun kerap dilakukan oleh para pelajar.

Seperti disebutkan dalam Lampung Post ( Rabu, 4 Januari 2006 ), sepanjang tahun 2005 tercatat ada 157 anak yang berkonflik dengan hukum. Yakni 23 kasus penganiayaan, 38 kasus pencurian, 11 kasus pencabulan, 11 kasus psikotropika, dan sisanya senjata tajam. Tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak-anak usia sekolah, khususnya para pelajar SMA. Yakni 56 anak( 35,7%) usia 17 tahun, 46 anak( 29,3%) usia 16 tahun, 32 anak ( 20,4% ) usia 15 tahun, dan sisanya ( 0,6% ) anak usia 11 tahun. Disebutkan pula bahwa salah satu pemicu terjadinya masalah-masalah sosial tersebut adalah makin gencarnya terpaan media elektronik yang menayangkan siaran yang tidak mendidik, kontra produktif, dan cenderung menampilkan gaya hidup konsumtif.

Atas dasar hal-hal tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk mengangkat masalah persepsi para pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu Kabupaten Tanggamus terhadap program televisi, khususnya acara sinetron remaja dan pengaruhnya terhadap upaya penegakan tata tertib di sekolah.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana persepsi pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu terhadap program sinetron remaja di televisi ?
1.2.2 Bagaimana pengaruh persepsi pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu tentang program sinetron remaja di televisi terhadap upaya penegakan tata tertib sekolah ?
1.2.3 Bagaimana solusi untuk mengatasi pengaruh negatif program sinetron remaja di televisi terhadap upaya penegakan tata tertib sekolah ?


 1.3 Batasan Masalah

Dalam tulisan ini, masalah yang penulis bahas terbatas pada persepsi para pelajar SMA kelas X dan XI di Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Propinsi Lampung tahun 2007.

1.4 Tujuan

Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk:
1.4.1 Mengetahui persepsi para pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu terhadap acara sinetron remaja di televisi.
1.4.2 Mengetahui pengaruh persepsi pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu tentang program sinetron remaja di televisi terhadap upaya penegakan tata tertib sekolah.
1.4.3 Mengetahui solusi untuk mengatasi pengaruh negatif program sinetron remaja di televisi terhadap upaya penegakan tata tertib sekolah.

1.5 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini antara lain :
1.5.1 Dapat memberikan gambaran kepada pembaca bagaimana persepsi para pelajar SMA mengenai acara sinetron remaja di televisi.
1.5.2 Dapat menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai pengaruh teknologi informasi (televisi) terhadap norma yang berlaku di masyarakat pada umumnya, pelajar khususnya.
1.5.3 Sebagai bahan pertimbangan dalam menayangkan sebuah acara di televisi dalam rangka meningkatkan kualitas pelajar sebagai penontonnya, kaitannya dengan penegakan norma (tata tertib) di sekolah.



 BAB II
LANDASAN TEORI

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, tahun 2000, yang dimaksud dengan norma adalah aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok di masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan berterima. Jadi dapat diambil pengertian bahwa norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.
Menurut Sujiyanto dan Muhlisin (Praktik Belajar Kewarganegaraan: 32), ada empat macam norma yang berlaku di Indonesia, yaitu:
Norma agama, merupakan suatu petunjuk hidup yang berasal dari Tuhan. Norma Kesusilaan, merupakan aturan yang berasal dari akhlak atau dari hati nurani sendiri tentang apa yang baik dan apa yang benar. Norma Kesopanan, merupakan peraturan hidup yang timbul dari pergaulan segolongan manusia yang dianggap sebagai tuntunan pergaulan sehari-hari sekelompok masyarakat. Norma Hukum, merupakan aturan hidup masyarakat yang dianut oleh masyarakat (negara) yang memiliki sanksi tegas bagi setiap orang yang melanggarnya.

Norma-norma tersebut berlaku juga di lingkungan sekolah. Sebagai sebuah lembaga pendidikan formal yang diharapkan dapat mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas, sekolah memiliki norma-norma tertentu untuk dipatuhi oleh seluruh komponen di dalamnya, termasuk diantaranya para pelajar. Norma-norma tersebut diwujudkan dalam bentuk tata tertib sekolah. Sama halnya dengan norma, tata tertib merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati atau dilaksanakan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, tahun 2000). Dibutuhkan sebuah komitmen dan rasa tanggungjawab yang besar dari pelajar untuk mematuhi tata tertib yang ada. Salah satu faktor dominan yang mempengaruhi hal tersebut adalah persepsi pelajar dalam memandang tata tertib yang berlaku di sekolahnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, tahun 2000, persepsi merupakan tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan; perlu diteliti. Jadi persepsi memiliki peranan yang besar bagi pelajar dalam menentukan sikap. Jika persepsi mereka positif, tentunya mereka akan cenderung untuk melakukan sesuatu yang mereka anggap positif tersebut, dan sebaliknya jika persepsi mereka negatif maka mereka cenderung untuk tidak melakukan apa yang mereka anggap negatif.

Kaitannya dengan persepsi tentunya tidak akan terlepas juga dari hal-hal eksteren yang menjadi objek dari persepsi itu sendiri. Kemajuan teknologi informasi seperti televisi, menjadi salah satu objek persepsi pelajar yang dapat mempengaruhi kehidupan pelajar. Termasuk diantaranya program-program sinetron remaja yang ditayangkan di televisi. Penayangan sinetron remaja di televisi menimbulkan persepsi positif atau negatif pelajar yang menontonnya. Jika pelajar memiliki presepsi yang positif (mendukung; setuju) terhadap hal yang ditayangkan di televisi maka mereka akan cenderung untuk mengadopsinya. Hal tersebut akan membawa dampak positif jika yang ditayangkan di sinetron tersebut adalah hal-hal yang positif. Namun lain halnya jika yang ditayangkan adalah hal-hal negatif, seperti pergaulan bebas dalam kehidupan remaja, kekerasan maupun gaya hidup konsumtif dan glamour, maka mereka akan cenderung mengadopsi gaya hidup negatif itu dalam kehidupan, padahal hal tersebut tidak sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolah.


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Subjek Penelitian

Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah pelajar SMA kelas X dan XI yang ada di Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, Lampung, yang berjumlah 2262 orang, terdiri dari:
Tabel 1 :
Subyek penelitian


No.
Nama Sekolah
Populasi Persentase
Sampel Jumlah
Sampel
1. SMA Negeri 1 Pringsewu 480 10% 48
2. SMA Negeri 3 Pringsewu 480 10% 48
3. SMA PGRI 2 Pringsewu 532 10% 54
4. SMA Muh Pringsewu 370 10% 37
5. SMA Xaverius Pringsewu 400 10% 40
Total 2262 227
Sumber: Dokumentasi Sekolah
Dari tabel di atas tampak bahwa jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 227 orang.
Pengambilan sampel dari populasi dilakukan dengan teknik proporsional random sampling.

3.1 Data dan Sumber Data

Data yang penulis sajikan merupakan data yang bersifat kuantitatif serta didukung oleh data-data yang bersifat kualitatif, karena pada dasarnya kedua kategori tersebut saling melengkapi ( Suharko, dkk. Pengantar Sosiologi 2: 149 ). Data-data tersebut bersumber dari hasil observasi, dokumentasi, kuesioner, studi pustaka serta wawancara dengan beberapa siswa dan guru di Kecamatan Pringsewu.

3.3 Cara Pengumpulan Data
Penulis mengumpulkan data dengan beberapa cara, yaitu:
3.3.1 Observasi langsung ke SMA-SMA yang ada di Kecamatan Pringsewu. Penulis menggunakan teknik observasi berstruktur, yakni mengamati aspek-aspek yang penulis teliti sesuai dengan tujuan penelitian.
3.3.2 Penulis mengedarkan formulir kuesioner/daftar pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada sampel pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Masri Simarimbun, sering timbul pertanyaan berapa besar sampel (sampel zise) yang harus diambil untuk mendapatkan data yang representatif. Beberapa peneliti menyatakan bahwa besarnya sampel tidak boleh kurang dari 10% dan ada pula peneliti lain yang menyatakan bahwa besarnya minimum 5% dari jumlah satuan-satuan elementer (elementary units) dari populasi.


Atas dasar tersebut maka penulis mengambil sampel 10% dari jumlah siswa di tiap-tiap sekolah. Ada 227 siswa yang penulis jadikan sampel dari sekitar 2262 siswa SMA di Kecamatan Pringsewu.
3.3.3 Studi Pustaka. Penulis membaca beberapa buku yang penulis jadikan referensi untuk mendukung penulisan karya ilmiah ini.
3.3.4 Penulis melakukan wawancara dengan beberapa guru, waka kesiswaan, ketua OSIS, maupun siswa SMA yang ada di Kecamatan Pringsewu.


3.4 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan beberapa SMA yang ada di Kecamatan Pringsewu, Kabupaten Tanggamus, yaitu: SMA Negeri 1 Pringsewu, SMA Negeri 3 Pringsewu , SMA PGRI 2 Pringsewu, SMA Muhammadiyah Pringsewu dan SMA Xaverius Pringsewu sejak tanggal 13 Juni 2007 s.d. 20 Juni 2007



 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penyajian Data
Dari hasil observasi, kuesioner, wawancara dan dokumentasi penulis memperoleh data-data sebagai berikut:

4.1.1 Persepsi Pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu Terhadap Program
Sinetron Remaja di Televisi


Dari hasil sebaran kuesioner tentang persepsi pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu terhadap program sinetron remaja di televisi diketahui bahwa ternyata persepsi mereka berbeda satu sama lainnya seperti terlihat pada tabel berikut.
:
Tabel 2
Persepsi Pelajar SMA Negeri 1 Pringsewu Terhadap
Program Sinetron Remaja di Televisi

No Pernyataan Jumlah Prosentase
1. Suka menonton televisi
Tidak suka menonton televisi 47
1 97,90 %
2,10%
2. Program televisi yang paling sering di tonton adalah:
a. Sinetron
b. News
c. Reality show
* Tidak menjawab

20
15
10
3

41.67 %
31,25 %
20,83 %
6,25 %
3. Setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi
Tidak setuju
* Tidak menjawab 28

18
2 58,33 %

37,50 %
4, 17%
4. Persepsi tentang program sinetron remaja di televisi:
a. Positif
b. Negatif
* Tidak menjawab

13
30
5

27,08 %
62,50 %
10,42 %

Dari tabel 2 di atas tampak bahwa sebagian besar siswa di SMA Negeri 1 Pringsewu suka menonton televisi (97,90%) , hanya 2,10% saja yang tidak suka menonton televisi. Dapat dilihat pula bahwa program televisi yang paling sering ditonton adalah program sinetron, khususnya sinetron remaja (41,67%) . Program sinetron remaja mendapat sambutan yang baik dari para pelajar, karena 58,33% pelajar setuju dengan penayangan sinetron tersebut. Meskipun demikian persepsi pelajar terhadap sinetron yang mereka tonton tidak sama. Sebagian kecil berpresepsi positif (27,08%) namun sebagian besar yang lain berpresepsi negatif (62,50%). Dengan demikian, pelajar SMA Negeri 1 Pringsewu cenderung berpersepsi negatif terhadap sinetron remaja di televisi, sebab mereka beranggapan bahwa sinetron remaja itu cenderung menayangkan hal-hal yang bersifat negatif.

Tabel 3
Persepsi Pelajar SMA Negeri 3 Pringsewu Terhadap
Program Sinetron Remaja di Televisi

No Pernyataan Jumlah Prosentase
1. Suka menonton televisi
Tidak suka menonton televisi 45
3 93,75 %
6,25 %
2. Program televisi yang paling sering di tonton adalah:
a. Sinetron
b. News
c. Reality show
* Tidak menjawab

13
12
21
2

27,08 %
25 %
43,75 %
4,17 %
3. Setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi
Tidak setuju
* Tidak menjawab 41

5
2 85,42 %

10,42 %
4,16%
4. Persepsi tentang program sinetron remaja di televisi:
a. Positif
b. Negatif

28
20

58,30 %
41,70 %

Dari tabel 3 di atas diketahui bahwa siswa SMA Negeri 3 Pringsewu juga suka menonton televisi (93,75%). Meskipun banyak yang lebih memilih program reality show (43,75%) dibandingkan sinetron (27,08%) dan news (25%), akan tetapi mereka tetap setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi (85,42 %). Sebagian besar memiliki persepsi positif terhadap sinetron remaja (58,30%).dan sebagian kecil berpersepsi negatif (41,70%). Dengan demikian., persepsi pelajar SMA Negeri 3 Pringsewu terhadap program sinetron remaja di televisi cenderung positif.

Tabel 4
Persepsi Pelajar SMA PGRI 2 Pringsewu Terhadap
Program Sinetron Remaja di Televisi

No Pernyataan Jumlah Prosentase
1. Suka menonton televisi
Tidak suka menonton televisi 52
2 96,30 %
3,70 %
2. Program televisi yang paling sering di tonton adalah:
a. Sinetron
b. News
c. Reality show
* Tidak menjawab

29
13
11
1

53,70 %
24,07 %
20,37 %
1,85 %
3. Setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi
Tidak setuju
* Tidak menjawab 43

9
2 79,63 %

16,67 %
3,70 %
4. Persepsi tentang program sinetron remaja di televisi:
a. Positif
b. Negatif
* Tidak menjawab

30
19
5

55,56 %
35,18 %
9,26 %



Dari 532 siswa di SMA PGRI 2 Pringsewu ternyata 53,70 % diantaranya sangat gemar menonton program sinetron remaja di televisi. Sebagian besar dari mereka setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi (79,63%), persepsi yang positif juga ditunjukkan oleh sebagian besar pelajar di SMA tersebut (55,56 %). Dengan demikian, persepsi pelajar SMA PGRI 2 Pringsewu terhadap program sinetrion remaja di televisi cenderung positif.

Tabel 5
Persepsi Pelajar SMA Muhammadiyah Pringsewu Terhadap
Program Sinetron Remaja di Televisi

No Pernyataan Jumlah Prosentase
1. Suka menonton televisi
Tidak suka menonton televisi 36
1 97,30 %
2,70 %
2. Program televisi yang paling sering di tonton adalah:
a. Sinetron
b. News
c. Reality show
* Tidak menjawab

17
10
7
3


45,94 %
27,03 %
18,92 %
8,11 %
3. Setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi
Tidak setuju
* Tidak menjawab 19

15
3 51,35 %

40,54 %
8,11 %
4. Persepsi tentang program sinetron remaja di televisi:
a. Positif
b. Negatif
* Tidak menjawab

10
26
1

27,03 %
70,27 %
2,7 %

Berdasarkan tabel 5 di atas ternyata sinetron remaja masih menjadi tontonan kesukaan dari pada program lain yang ditayangkan di televisi. Hampir separuh dari siswa yang suka menonton televisi memilih sinetron remaja sebagai tontonan sehari-hari (45,94%). Tampak juga 51,35 % pelajar setuju dengan penayangan sinetron remaja tersebut. Meskipun demikian 70,27 % pelajar tetap memiliki persepsi negatif terhadap sinetron remaja yang mereka tonton. Jadi bisa diambil pengertian bahwa walaupun mereka suka menonton sinetron remaja di televisi, namun sesungguhnya mereka memiliki persepsi yang negatif dengan apa yang ditayangkan di sinetron itu sendiri.

Tabel 6
Persepsi Pelajar SMA Xaverius Pringsewu Terhadap
Program Sinetron Remaja di Televisi

No Pernyataan Jumlah Prosentase
1. Suka menonton televisi
Tidak suka menonton televisi 38
2 95,00 %
5 %
2. Program televisi yang paling sering di tonton adalah:
a. Sinetron
b. News
c. Reality show
* Tidak menjawab

9
15
14
2

22,5 %
37,5 %
35 %
5 %
3. Setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi
Tidak setuju
* Tidak menjawab 21

14
5 52,5 %

35 %
12,5 %
4. Persepsi tentang program sinetron remaja di televisi:
a. Positif
b. Negatif
* Tidak menjawab

18
17
5

45 %
42,5 %
12,5 %

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa tidak banyak pelajar SMA Xaverius Pringsewu yang suka menonton sinetron remaja (22,5 %). Namun mereka tetap setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi (52,5 %). Meskipun tidak sering menonton bukan berarti tidak pernah menonton sama sekali, hal ini ditunjukkan oleh banyaknya pelajar SMA Xaverius yang berpersepsi positif terhadap penayangan sinetron remaja di televisi (45 %). Dengan demikian, persepsi pelajar SMA Xaverius Pingsewu terhadap program sinetron remaja di televisi cenderung positif.

4.1.1.1 Beberapa pendapat remaja yang berpersepsi positif

Meskipun hanya sekitar 42,59% saja yang berpersepsi positif terhadap isi sinetron remaja, namun 65,45% pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu tetap setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi. Pendapat dari pelajar yang menyebabkan mereka memiliki presepsi positif dan setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi adalah:
a. Sinetron remaja dapat menjadi media informasi mengenai perkembangan
kehidupan remaja saat ini.
b. Sinetron remaja dapat memberikan inspirasi kepada pelajar yang menontonnya, khususnya inspirasi mengenai gaya hidup yang tidak ketinggalan zaman.
c. Dengan ditayangkannya kisah-kisah kehidupan remaja di sinetron remaja,
pelajar jadi bisa belajar dari kisah-kisah tersebut dan lebih berhati-hati.

4.1.1.2 Beberapa pendapat remaja yang berpersepsi negatif

Ada sekitar 1141 pelajar atau sekitar 50,43 % pelajar berpersepsi negatif terhadap sinetron remaja, tapi hanya 28,03 % saja yang benar-benar tidak setuju dengan penayangannya, selebihnya tetap setuju dengan penayangan sinetron remaja Hal ini membuktikan bahwa meskipun mereka berpersepsi negatif namun mereka tetap senang menonton sinetron remaja.
Pendapat yang menyebabkan pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu berpersepsi negatif sekaligus tidak setuju dengan penayangan sinetron remaja di televisi adalah:

a. Sinetron remaja lebih menonjolkan hal-hal yang menyimpang dari norma yang berlaku di sekolah ( tata tertib sekolah). Seperti tindakan kekerasan, gaya hidup glamour hingga gaya pakaian, khususnya gaya pakaian saat pergi ke sekolah.
b. Apa yang ditanyangkan di sinetron remaja kurang mendidik dan terkadang tidak rasional dan telalu berlebihan. Seperti sinetron yang mengandung unsur- unsur “peri”.
c. Sinetron remaja banyak yang diadopsi dari sinetron-sinetron negara lain. Padahal nilai-nilai yang terkandung di dalam sinetron di negara lain belum tentu sesuai dengan nilai yang ada di Indonesia, hal tersebut tentunya akan memberi pengaruh buruk bagi pelajar yang menontonnya.

4.1.2 Pengaruh Persepsi Pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu Tentang Sinetron Remaja di Televisi Terhadap Upaya Penegakan Tata Tertib Sekolah


Dari data yang penulis peroleh melalui wawancara dengan salah satu ketua OSIS dan waka kesiswaan di sebuah SMA di Kecamatan Pringsewu, mengatakan bahwa sangat sulit untuk menegakkan tata tertib di sekolah akibat dari pelanggaran-pelanggaran yang banyak dilakukan oleh siswa. Pelanggaran tersebut juga dipacu dengan semakin gencarnya program-program sinetron remaja di televisi. Banyak di antara pelajar yang mengadopsi hal-hal yang sejatinya tidak sesuai dengan norma (tata tertib) sekolah. Seperti mengenakan pakaian yang ketat, aksesoris yang berlebihan dan gaya berbicara yang kurang sopan kepada guru.
Berikut adalah data yang penulis peroleh mengenai pelajar yang pernah terpengaruh dengan sinetron remaja yang mereka tonton:

Tabel 7
Pengaruh Persepsi Pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu Tentang Sinetron Remaja di Televisi Terhadap Upaya Penegakan Tata Tertib Sekolah



No

Pernyataan SMA
RATA-RATA
01
(dari 48 sampel) Muh.
(dari 37 sampel) Xave.
(dari 40 sampel) 03
(dari 48 sampel) PGRI
(dari 54 sampel)
1 Persepsi terhadap sinetron remaja adalah persepsi positif
13
(27,08%)
10
(27,03%)
18
(45%)
28
(58,30%)
30
(55,56%) 42,59%
2 Pernah terpengaruh oleh sinetron remaja di televisi
23
(47,92%)
18
(48,65%)
28
(70%)
34
(70,83%)
39
(72,22%) 61,92%
3 Pengaruh sinetron tersebut tidak sesuai dengan norma (tata tertib) sekolah

40
(83,33%)

34
(91,89%)

25
(62,5%)

47
(97,92%)

46
(85,19%)

84,17%

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa semakin banyak pelajar yang berpersepsi positif tehadap sinetron remaja di televisi maka semakin banyak pula yang terpengaruh oleh sinetron tersebut. Ironisnya apa yang mereka pikir positif belum tentu hal-hal tersebut benar-benar positif. Terbukti rata-rata 84,17% pengaruh tersebut tidak sesuai dengan norma (tata tertib) sekolah. Hal tersebut tentunya sangat mempengaruhi upaya penegakan tata tertib di sekolah.
Pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan dari penayangan sinetron remaja terhadap pelajar yang menontonnya, kaitannya dengan upaya penegakan tata tertib sekolah antara lain:
a. Banyak pelajar yang ke sekolah dengan penampilan yang berlebihan. Seperti gaya rambut (khususnya laki-laki) yang melebihi batas yang telah ditentukan di sekolah. Sepatu yang mencolok, baik warnanya maupun bentuknya. Seragam sekolah yang ketat dan rok di atas lutut, hingga mengenakan aksesoris yang berlebihan.
b. Banyak pelajar yang mengadopsi gaya bicara para pemain sinetron remaja di televisi. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah jika yang menjadi lawan bicaranya adalah teman sebaya, namun akan lain ceritanya jika lawan bicaranya adalah guru. Seorang guru di salah satu SMA juga mengeluhkan hal ini. Jika dari gaya bicaranya saja sudah tidak menghormati guru, apalagi dalam bertindak dan berperilaku.
c. Banyak pelajar yang mulai berani untuk berpacaran di lingkungan sekolah. Rata-rata dari mereka mengaku terpengaruh oleh sinetron remaja. Berikut data yang penulis dapatkan:
Pernyataan Jumlah pelajar
( dari 227 sampel) Prosentase
Pernah berpacaran karena pengaruh dari sinetron remaja
75
33,04%

Ada sebanyak 33,04 % pelajar yang pernah berpacaran di lingkungan sekolah karena terpengaruh oleh sinetron remaja.


4.1.3 Solusi Untuk Mengatasi Pengaruh Negatif dari Program Sinetron
Remaja Terhadap Upaya Penegakan Tata Tertib Sekolah


Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa guru, ketua OSIS, siswa dan waka kesiswaan di SMA di Kecamatan Pringsewu, dapat diambil pengertian bahwa solusi untuk mengatasi pengaruh negatif dari program sinetron remaja terhadap upaya penegakan tata tertib di sekolah antara lain adalah:

1. Diperlukan kerja sama antara sekolah dengan pihak keluaga siswa, khususnya orang tua dalam mengawasi anak. Termasuk diantaranya menyeleksi program televisi yang baik di tonton oleh anak usia sekolah.
2. Memberikan sanksi yang tegas terhadap setiap pelanggaran yang di lakukan oleh pelajar.
3. Menanamkan sejak dini pendidikan agama yang kuat, hingga pelajar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan uraian penyajian data di atas, ada beberapa hal yang menurut penulis perlu dibahas.

4.2.1 Persepsi Pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu Terhadap Penayangan
Sinetron Remaja di Televisi.

Sesuai dengan uraian dalam landasan teori, bahwa persepsi seseorang dalam memandang suatu hal berperan dalam menentukan sikap yang akan diambil. Dalam hal ini pelajar SMA yang pada hakekatnya adalah remaja yang sedang mencari jati diri, persepsi terhadap apa yang mereka lihat, dengar dan rasakan tentunya sangat berperan besar dalam kehidupannya.
Para ahli psikolog menyebutkan masa remaja sebagai masa puber, yakni suatu periode awal tumbuh dan berkembangnya ciri-ciri fisik dan seksualitas seorang individu. Ciri-cirinya antara lain adalah memiliki kepribadian yang labil karena masih mencari identitas diri dan mudah terpengaruh oleh hal-hal tertentu, baik yang bersifat positif maupun negatif ( Tim Sosiologi, Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat: 106 ).

Persepsi yang positif terhadap suatu hal cenderung membuat mereka suka atau bahkan terpengaruh dengan hal tersebut. Seperti program sinetron remaja di televisi. Persepsi yang berbeda dari pelajar terhadap program remaja di televisi akan menimbulkan pengaruh yang berbeda pula. Berdasarkan uraian data sebelumnya, 65,45% pelajar di Kecamatan Pringsewu setuju dengan penayangan sinetron remaja, namun tidak semuanya memiliki persepsi positif terhadap sinetron tersebut.
Pelajar yang memiliki persepsi positif tentunya akan lebih mudah terpengaruh dari pada mereka yang tidak, karena yang memiliki persepsi negatif pastinya tidak akan mau melakukan apa yang menurutnya saja sudah negatif. Baik jika apa yang ditayangkan di sinetron remaja itu juga mengandung nilai-nilai yang positif, namun masalahnya tidak semua yang ditayangkan di sinetron remaja itu bernilai positif. Bahkan kenyataannya di sinetron remaja saat ini lebih banyak menayangkan hal-hal yang negatif. Hal ini ditunjukkan oleh lebih banyaknya pengaruh negatif yang ditimbulkan dari pada pengaruh yang positif , yakni sekitar 84,17% pengaruh tersebut berlawanan dengan norma/tata tertib sekolah.

Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di SMA-SMA di Kecamatan Pringsewu, ternyata sangat mudah ditemui pelanggaran-pelanggaran tata tertib sekolah. Ironisnya bahkan salah satu ketua OSIS di sebuah sekolah di Kecamatan Pringsewu memakai seragam yang dibuat sedemikian rupa hingga seperti gaya berpakaian tokoh idolanya di televisi. Mulai dari aksesoris, sepatu, celana panjang kekecilan yang dipakai di bawah pinggul, ikat pinggang yang besar, hingga gaya rambut berantakan. Padahal semestinya seorang ketua OSIS harus dapat mencontohkan hal yang baik kepada siswa yang lain, apalagi hal tersebut tidak sesuai dengan tata tertib yang berlaku di sekolahnya. Ternyata persepsinya yang positif terhadap tokoh idolanya itulah yang mendorong ia untuk mengadopsi gaya hidup Sang tokoh idola.

Namun demikian, bukan berarti memiliki persepsi positif terhadap sinetron remaja itu tidak dapat memberikan efek positif bagi pelajar yang menontonnya. Misalnya saja seperti apa yang dituturkan seorang pelajar SMA yang penulis wawancarai, ia menjadi bersemangat untuk bersaing meraih prestasi dan menjadi tahu perkembangan remaja saat ini setelah melihat program sinetron remaja di televisi.

4.2.2 Pengaruh Persepsi Pelajar SMA Tentang Sinetron Remaja di Televisi Terhadap Upaya Penegakan Tata Tertib Sekolah


Sebagai seorang remaja yang labil, pelajar sangat mudah untuk menerima pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Pelajar yang hampir seluruhnya suka menonton televisi, pastinya langsung ataupun tidak akan terpengaruh dengan program televisi yang mereka lihat. Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa sebagian besar pelajar suka menonton program sinetron remaja di televisi (62,2%). Persepsi positif pelajar terhadap sinetron remaja akan mendorong rasa ingin tahu dan rasa ingin mencoba hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah mereka alami. Dari rasa ingin tahu dan rasa ingin mencoba itulah akan berkembang sebuah keinginan yang kuat dalam diri mereka untuk melakukan hal yang sama seperti yang mereka lihat di televisi. Hal inilah yang oleh George Herbert Mead disebut “game stage” atau kecenderungan remaja untuk meniru seseorang yang diidolakanya. Setelah itu pelajar tersebut akan mengaktualisasikan keinginannya itu dalam perilakunya sehari-hari. Proses ini akan mengarah kepada hal-hal yang positif jika yang diadopsi adalah hal-hal yang positif. Sebaliknya, apabila yang diadopsi adalah hal-hal yang negatif maka dampaknya akan negatif pula. Tidak hanya berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan kepribadian pelajar saja, hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap sekolah. Pelajar yang notabenenya adalah komponen dari sekolah tentunya memiliki kewajiban untuk mematuhi tata tertib sekolah yang berlaku. Namun akan bermasalah dalam upaya penegakan tata tertib sekolah jika pelajar sendiri sangat mudah terpengaruh dengan hal-hal yang ditayangkan di sinetron remaja, apalagi kebanyakan dari pengaruh-pengaruh tersebut adalah pengaruh yang negatif yang tidak sesuai dengan tata tertib sekolah. Pengaruh persepsi pelajar terhadap upaya penegakan norma disekolah dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa dari SMA yang satu dengan lainnya, semakin tinggi persepsi positif dan pendapat setuju terhadap sinetron remaja di televisi maka semakin tinggi pula angka pelajar yang terpengaruh dan pengaruh tersebut tenyata tidak sesuai dengan tata tertib sekolah.

Jelas bahwa ternyata persepsi pelajar terhadap sinetron remaja di televisi dapat mempengaruhi penegakan tata tertib sekolah. Tata tertib akan sulit ditegakan dalam kondisi seperti ini. Apalagi saat ini banyak sekali ditayangkan program sinetron remaja di televisi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru di sebuah sekolah SMA di Kecamatan Pringsewu, mengatakan bahwa sulit sekali menegakan tata tertib sekolah, bahkan sistem poin yang diberlakukan sekolah terhadap setiap pelanggaran tata tertib pun tidak cukup berhasil meminimalisir pelanggaran yang di lakukan pelajar. Karena saat ini angka pelanggaran tata tertib masih tinggi. Bentuk pelanggaran tersebut antara lain; seragam sekolah yang ketat, rok pendek di atas lutut, tidak memakai atribut sekolah lengkap, gaya rambut yang melebihi batasan yang telah ditentukan, perkelahian antar pelajar, merokok, pemakaian narkoba, membolos dan berpacaran di lingkungan sekolah. Sebenarnya berpacaran di lingkungan sekolah dapat menimbulkan efek negatif bagi pelakunya, karena selain dapat mengganggu konsentrasi pelajar dalam belajar juga tidak sesuai dengan norma yang berlaku di SMA di Kecamatan Pringsewu, lagi pula kewajiban siswa itu adalah belajar. Bahkan menurut keterangan ketua OSIS di salah satu SMA yang penulis datangi, sekolah sudah tidak berdaya menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan siswanya. Sehingga pelanggarn-pelanggaran tersebut seringkali ditolerir dan berdampak dengan semakin sulitnya upaya penegakan tata tertib sekolah.

4.2.3 Solusi Untuk Mengatasi Pengaruh Negatif dari Program Sinetron
Remaja Terhadap Upaya Penegakan Tata Tertib Sekolah

Tata tertib sekolah pada dasarnya merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati atau dilaksanakan demi tercapainya sebuah keteraturan hidup dalam lingkungan sekolah. Sekolah sendiri sebagai sebuah lembaga pendidikan formal bukan hanya mengajari siswa dari belum tahu menjadi tahu, tetapi juga berfungsi untuk mendidik siswa agar bisa menjadi lebih baik lagi dan menjadi orang yang berguna untuk orang lain, bangsa, negara, dan agama. Namun sekolah dapat kehilangan fungsinya jika hal yang penulis uraikan sebelumnya terus menerus dibiarkan terjadi. Untuk itulah dibutuhkan sebuah pemecahan yang baik agar tidak terjadi hal yang tidak diharapkan.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan serta hasil pemikiran penulis dan didukung oleh pendapat beberapa ahli, dapat diambil solusi sebagai berikut:
a. Kerjasama antara sekolah dengan pihak keluarga siswa, khususnya kedua orang tua siswa, harus lebih ditingkatkan. Keluarga merupakan media sosialisasi pertama dan utama dari seorang anak (Tim Sosiologi, 2003: 109). Pendidikan dari keluarga memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian seorang anak. Oleh karena itu sangat dibutuhkan kerja sama antara sekolah dengan keluarga siswa. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang tua antara lain:
 Selalu dekat dengan anak-anaknya sehingga bisa mengetahui perkembangan anaknya.
 Memberikan pengawasan dan pengendalian yang wajar. Misalnya dengan menyeleksi program-program televisi yang baik untuk ditonton oleh anak usia sekolah.
 Membimbing anak agar dapat membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas.
 Menasehati anak jika melakukan kesalahan/kekeliruan serta menunjukkan dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar.
Dengan demikian pelajar memiliki kepribadian yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif yang berasal dari lingkungan sekitarnya, termasuk pengaruh program sinetron remaja di televisi.

b. Adanya sanksi yang tegas dari sekolah untuk setiap pelanggaran yang dilakukan pelajar. Namun sanksi yang dimaksud disini adalah sanksi yang sifatnya bukan dengan kekerasan atau melebihi batas kewajaran. Akan tetapi sanksi-sanksi yang diberikan disesuaikan dengan jenis pelanggaran yang dilakukan. Misalnya dengan memberikan poin dan batasan maksimal poin, panggilan orang tua hingga anak dikeluarkan dari sekolah. Seperti yang dilakukan di salah satu SMA di Kecamatan Pringsewu. Sekolah menghukum siswa yang tidak mengenakan atribut sekolah lengkap atau yang menyalahi aturan yang telah ditetapkan dengan dikumpulkan dan berbaris di depan seluruh siswa ketika upacara bendera berlangsung, setelah itu siswa harus membersihkan lingkungan sekolah. Hal ini dimaksudkan agar siswa merasa malu dan menimbulkan efek jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Dan sampai saat ini ternyata cara ini berhasil meminimalisir pelanggaran di sekolah tersebut.

c Menanamkan pendidikan agama kepada pelajar sejak dini. Dengan adanya pendidikan agama yang kuat, pelajar akan lebih selektif lagi dalam menerima pengaruh negatif dari luar. Untuk mewudkan hal ini dibutuhkan peranserta orangtua di rumah dan guru di sekolah.

Dengan mencegah pengaruh negatif dari sinetron remaja di televisi kepada anak, maka upaya penegakan tata tertib di sekolah akan lebih mudah dilakukan.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
• Pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu memiliki persepsi positif dan negatif terhadap program sinetron remaja di televisi. Pelajar yang memiliki persepsi positif cenderung terpengaruh oleh sinetron remaja yang mereka tonton.
• Sinetron Remaja di Televisi lebih banyak menayangkan hal-hal yang bersifat negatif, sehingga persepsi positif pelajar membawa mereka ke hal-hal negatif pula. Hal ini berimbas pada sulitnya upaya penegakan tata tertib sekolah.
• Dibutuhkan kerjasama yang baik antara sekolah dan pihak keluarga untuk mengatasi pengaruh negatif dari sinetron remaja untuk memudahkan upaya penegakan tata tertib sekolah.

5.2 Saran

Demi tegaknya tata tertib sekolah, penulis memberi saran sebagai berikut:
• Hendaknya pihak keluarga, khususnya orang tua, lebih maksimal dalam mengawasi perkembangan anaknya untuk menghindari hal-hal yang negatif.
• Sekolah hendaknya lebih tegas dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pelajar untuk menimbulkan efek jera.

• Pemerintah hendaknya lebih memperhatikan pertelivisian di Indonesia agar lebih selektif dalam menayangkan program-programtelevisi, khusunya program-program remaja agar lebih mendidik.




 DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1989. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Bina Aksara

Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.

Depdikbud. 2000. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ferani, Aisyiah, Intan Afriani. Upaya Pemerintahan Desa Tambahrefo Dalam
Rangka Mewujudkan Good Governance. Pringsewu: SMA 1 Press.

Soekanto, Soerjono. 1988. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat Di Indonesia.
Jakarta: Kunia Esa.


Sujianto, Muhlisin. 2004. Praktik Belajar Kewarganagaraan. Jakarta: Ganeca
Exact.

Tim Sosiologi. 2004. Sosiologi Suatu Kajian Kehidupan Masyarakat. Jakarta:
Yudhistira.

Wiyati. 2006. Pedoman Membuat Karya Tulis Ilmiah. Pringsewu: SMA 1 Press.



 LAMPIRAN

1. Kuesioner
a. Berikut adalah daftar pertanyaan yang penulis ajukan secara tertulis kepada sampel
pelajar SMA di Kecamatan Pringsewu.
1. Apakah anda suka menonton televisi?
a. Suka
b. Tidak suka
2. Berapa jam dalam sehari anda menghabiskan waktu untuk menonton televisi?
3. Program televisi apakah yang paling anda sukai?
a. News
b. Reality Show
c. Sinetron
4. Apakah anda setuju dengan penayangan sinertron remaja di televisi?
5. Bagaiman pendapat anda mengenai penayangan sinetron remaja di televisi?
6. Apakah anda pernah merasakan pengaruh dari ssinetro remaja terhadap pribadi anda secara langsung? Jika pernah berikan contohnya.
7. Bagaimana pendapat anda tentang banyaknya anak SMA yng mengadopsi gaya yang ditayangkan di sinetron remaja?
8. Sesuaikah hal tersebut dengan norma-norma yang berlaku di sekolah? Berikan alasanmu!
9. Apakah anda pernah berpacaran di lingkungan sekolah seperti yang di tayangkan di sinetron remaja?
10. Apakah yang anda inginkan/harapkan dari program televisi di Indonesia?



OPTIMALISASI TUPOKSI PERANGKAT PEKON DALAM RANGKA MEMBERIKAN PELAYANAN PRIMA KEPADA MASYARAKAT DI PEKON BLITAREJO KECAMATAN GADING REJO TANGGAMUS LAMPUNG TAHUN 2007 OLEH FATWIASIH AL-HUMAIRA, SMA AL-KAUTSAR 2007


ABSTRAK



FATWIASIH AL-HUMAIRA, Optimalisasi Tugas Pokok dan Fungsi Perangkat Pekon Dalam Memberikan Pelayanan Prima Kepada Masyarakat Di Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus Tahun 2007. (Pembimbing: Drs. Messiyanto, viii + 37 hal, tabel dan lampiran)

Penelitian ini membahas masalah optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan pemerintah pekon dalam mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi perangkat pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat; untuk mengetahui hambatan-hambatan yang terjadi di pekon dalam mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi perangkat pekon sehingga dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat; mengetahui solusi yang dilakukan pemerintah pekon dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

Subjek penelitian ini adalah kepala pekon dan perangkat-perangkatnya di Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung tahun 2007. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini bersifat kualitatif, yang terdiri dari data tentang perangkat pekon, usaha-usaha optimalisasi perangkat pekon yang telah dilakukan, hambatan-hambatan yang dihadapi serta solusi yang telah diambil oleh oleh pemerintah pekon untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, dokumentasi dan wawancara. Selanjutnya analisis data dilakukan dengan cara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo sudah berupaya mengoptimalkan Tupoksi Perangkatnya untuk melayani masyarakat dengan prima, meskipun belum memiliki perangkat yang handal serta dukungan sarana dan prasarana yang juga masih sangat minim; Tingkat pendidikan perangkat pemerintahan Pekon yang masih relatif rendah mempengaruhi kinerja perangkat Pekon yang menyebabkan kepala pekon harus bekerja ekstra; Upaya pemerintah pekon dalam mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi perangkatnya sudah sangat baik, meskipun dalam keadaan yang tidak kondusif.

Dari hasil penelitian ini penulis menyarankan agar pemeritah pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus selalu berupaya menigkatkan pengetahuan, keterampilan dan wawasannya agar dapat memberikan pelayanan prima kepada warga masyarakatnya dengan lebih baik; pemerintah daerah atau pemerintah pusat lebih memperhatikan pekon ini, agar lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya; Pemerintah pusat dan pemerintah daerah hendaknya lebih memperhatikan masalah kesejahteraan perangkat pekon agar kinerjanya bisa lebih baik lagi.



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah

Menurut Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2000, kepemerintahan yang baik adalah kepemerintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntanbilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supremasi hukum, dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat.

Sebagai salah satu unit terkecil dalam pemerintahan sebuah negara, pemerintahan desa atau pekon memegang peranan yang cukup penting dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Oleh karena itu, pemerintahan desa atau pekon harus dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, sebab pelayanan prima merupakan salah satu prinsip untuk mewujudkan kepemerintahan yang baik

Untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, pemerintahan desa atau pekon harus didukung oleh perangkat-perangkat yang handal atau akuntabel. Perangkat yang handal atau akuntabel adalah perangkat desa atau pekon yang memahami dan dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan bidang tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Disamping itu, mereka tentu harus memiliki komitmen dan tanggung jawab moral terhadap masyarakat.
Namun kenyataannya disinyalir dari berbagai media tidak selalu demikian, karena masih banyak aparat desa atau pekon yang belum sepenuhnya dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, baik itu berupa pelayanan pendidikan, kesehatan, administrasi dan pemerintahan, pelayanan pembangunan, keuangan maupun kesejahteraan. Sebagai contoh masih banyaknya anak-anak usia sekolah yang putus sekolahnya, banyak warga miskin yang tidak dapat dilayani secara wajar dalam hal kesehatan, masalah admnistrasi dalam pengurusan Kartu Keluarga dan KTP melalui prosedur dan birokrasi yang rumit, pada hal ini bisa dilakukan secara lebih efisien dan tidak perlu menunggu berminggu-minggu. Contoh lainnya adalah administrasi pendataan rakyat miskin untuk mendapatkan JPS, Raskin maupun BLT, masih belum tepat dan disinyalir masih banyak penyimpangan serta salah sasaran. Sebenarnya masih banyak masalah prinsip lainnya di pemerintahan desa atau pekon yang perlu dibenahi dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik di desa, antara lain mengoptimalkan tugas dan fungsi perangkat desa agar dapat memberikan pelayanan prima kepada warga masyarakatnya.

Dari hasil pra survey penulis di Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Tanggamus, diketahui bahwa Pekon tersebut termasuk yang terbelakang dibandingkan dengan Pekon atau Desa lain, baik dari segi pembangunan fisik, pendidikan, ekonomi maupun sumberdaya manusianya. Kurang lebih dua tahun Pekon tersebut tidak memiliki Kepala Desa atau Kepala Pekon, karena tidak ada satupun anggota masyarakat di Desa atau pekon itu yang bersedia menjadi Kepala Desa atau Pekon, apalagi menjadi perangkat pekon. Menurut sebagian anggota masyarakat, menjadi aparat atau perangkat Desa/Pekon itu tidak ada untungnya. Dari segi ekonomis, gaji atau tunjungan aparat Desa atau Pekon tidak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan. Mereka beranggapan lebih baik jadi petani atau buruh saja dari pada dipusingkan oleh urusan pemerintahan, sementara perhatian dari atas masih sangat kurang.

Setelah dua tahun vakum, kemudian dilaksanakan pemilihan Kepala Desa/Pekon yang baru, terbentuklah perangkat seperti yang ada saat ini (Struktur Terlampir). Dengan segala keterbatasan Kepala Pekon dan perangkatnya berusaha melaksanakan tugas dan fungsinya semaksimal mungkin, sehingga dapat melayani masyarakat dengan prima.

Atas dasar pemikiran dan kenyataan tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana cara Pemerintah Pekon Blitarejo mengoptimalkan perangkatnya untuk dapat melayani masyarakat dengan prima ditengah-tengah keterbatasan yang mereka miliki.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah pokok penelitian ini adalah optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus. Dari masalah pokok tersebut dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah upaya mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) perangkat pekon agar dapat
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di Pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo
kabupaten Tanggamus ?
2. Hambatan-hambatan apakah yang dialami optimalisasi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) perangkat
pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di pekon Blitarejo kecamatan
Gadingrejo kabupaten Tanggamus?
3. Bagaimana solusi yang dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam optimalisasi tugas
pokok dan fungsi (tupoksi) perangkat pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat di pekon Blitarejo keccamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus?

C. Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui upaya mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) perangkat pekon agar
dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di Pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo
kabupaten Tanggamus
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dialami dalam optimalisasi tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) perangkat pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di pekon
Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus
3. Untuk mengetahui solusi yang dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam optimalisasi
tugas pokok dan fungsi (tupoksi) perangkat pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat di pekon Blitarejo keccamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus


D. Manfaat yang Diharapkan

Manfaat yang diharapkan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini antara lain :
1 Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka optimalisasi tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) perangkat pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat khususnya
bagi masyarakat Pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus.
2 Menambah pengetahuan dan wawasan, terutama bagi penulis tentang optimalisasi tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) perangkat pekon dalam rangka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat
Pekon Blitarejo .
3 Dapat memberikan gambaran kepada pemerintah daerah maupun pemerintah pusat bagaimana keadaan
pemerintahan Pekon, terutama pemerintahan pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten
Tanggamus.




BAB II
LANDASAN TEORI


A. Pengertian Optimalisasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa optimalisasi berasal dari kata optimal artinya terbaik atau tertinggi. Mengoptimalkan berarti menjadikan paling baik atau paling tinggi. Sedangkan optimalisasi adalah proses mengoptimalkan sesuatu, dengan kata lain proses menjadikan sesuatu menjadi paling baik atau paling tinggi (1990:682). Jadi, optimalisasi adalah suatu proses mengopimalkan sesuatu atau proses menjadikan sesuatu menjadi paling baik.

B. Pengertian Pekon
Pekon atau yang lebih kita kenal dengan nama desa, menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area pedesaan. Di Indonesia, istilah Desa adalah pembagian wilayah administratif di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa.
Desa berasal dari kata Deshi dari bahasa Sanskerta yang berarti tanah kelahiran atau tanah tumpah darah. Desa merupakan suatu bentuk kesatuan yang berada di luar kota. Pengertian Desa itu sendiri adalah unit pemusatan penduduk yang bercorak agraris dan terletak relatif jauh dari kota (Wikipedia Ensklopedi Berbahasa Indonesia).
Sutarjo Kartohadikusumo mendefinisikan Desa sebagai suatu kesatuan hukum tempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. (Wikipedia Ensklopedi Berbahasa Indonesia) Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang desa, disebut bahwa:
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan Desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah Desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.

Kemudian, mengenai penyebutan istilah desa dan atau nama lainnya dijelaskan sebagai berikut:
Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, dan di Papua disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat Desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat. (Wikipedia Ensklopedi Berbahasa Indonesia)

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil pengertian bahwa Desa atau nama linnya Pekon, adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pekon bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan Pekon bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Pekon memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah Pekon atau Desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.

C. Tupoksi Perangkat Pekon

Tupoksi adalah tugas pokok dan fungsi yang harus dipahami dan dilaksanakan oleh perangkat pekon sesuai dengan bidang yang menjadi tanggung jawabnya dalam struktur organisasi pemerintahan pekon.

Menurut UU No.22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Tupoksi perangkat desa atau pekon dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kepala desa/ kepala pekon tupoksinya adalah mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya
yang dipertanggungjawabkan kepada rakyat desa dengan prosedur pertanggungjawaban disampaikan
kepada Bupati atau Walikota melalui Camat.
2. Sekertaris Desa atau menurut UU No. 32 tahun 2004 disebut Juru Tulis, memiliki tugas
membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas-tugas administrasi
3. Kepala Urusan (KAUR) yaitu, KAUR Umum bertugas mengontrol kegiatan di pekon
4. KAUR Pembangunan bertugas mensukseskan program pembangunan di pekon, baik pembangunan fisik
maupun nonfisik
5. KAUR Pemerintahan bertugas melakukan pendataan penduduk, penataan data kependudukan dan
masalah administrasi tentang penduduk
6. KAUR Keuangan bertugas mengurus masalah keuangan pekon terutama mengenai masalah pembiayaan
pengelolaan desa
7. KAUR Kesra bertugas mengurus masalah kesejahteraan warga masyarakat pekon, terutama masalah
kesejahteraan masyarakat miskin juga mengurus pembagian bantuan yang ditujukan kepada
masyarakat miskin seperti, dana JPS, dana BLT maupun Raskin.
8. Kepala-kepala Dusun, tugasnya antara lain adalah membantu kepala desa/ pekon untuk mengatasi
masalah kriminal, masalah keluarga dan pendataan Gakin.

D. Pelayanan Prima

Dwianto Indiahono dalam buku Reformasi ”Birokrasi Amplop” Mungkinkah? (2006:55) mengatakan bahwa Pelayanan prima pada hakekatnya adalah memberikan warga negara hak yang harus diterimanya. Warga negara berhak mendapatkan pendidikan layak, kesehatan serta rasa aman ........

Dari pendapat di atas dalam kaitannya dengan pemerintahan pekon, dapat diambil pengertian bahwa pelayanan prima adalah memberikan warga masyarakat hak yang harus diterimanya secara adil oleh perangkat pekon sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dalam struktur pemerintahan, yang dalam hal ini pemerintahan desa atau pekon.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A. Subjek Penelitian

Adapun yang menjadi subyek penelitian ini adalah perangkat Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung, yang terdiri dari:
1. Kepala Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Kabupaten Tanggamus
2. Juru Tulis
3. Kepala Urusan Pemerintahan
4. Kepala Urusan Pembangunan
5. Kepala Urusan Kesra
6. Kepala Urusan Umum
7. Kepala Urusan Keuangan

B. Data dan Sumber Data

Data yang penulis sajikan merupakan data yang bersifat kualitatif, yaitu data tentang optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Data-data tersebut bersumber dari kepala pekon, beberapa perangkat pekon, kepala-kepala dusun di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus.


C. Cara Pengumpulan Data dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung ke lokasi penelitian (observasi), melalui dokumentasi yang ada di kantor kepala pekon, dan wawancara dengan berbagai pihak yang berkepentingan di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus.

Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan data, dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisis data yang dilakukan dengan memberikan gambaran umum secara kualitas tentang hasil penelitian.

D. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pekon Blitarejo, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus, Lampung. selama 4 hari mulai dari tanggal 19 Juni 2007 s.d tanggal 22 Juni 2007.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi

1. Sejarah dan Batas Wilayah

Pekon Blitarejo, Kecamatan Gadingrejo, Kabupaten Tanggamus merupakan wilayah pemukiman warga transmigrasi dari daerah JawaTimur. Nama pekon ini pun diambil dari nama salah satu daerah yang ada di Jawa Timur, dengan luas wilayah ± 400.000 m2. Pekon ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
o Sebelah barat berbatasan dengan Pringsewu dan Ambarawa.
o Sebelah utara berbatasan dengan Pekon Panjerejo.
o Sebelah timur berbatasan dengan Pekon Wates dan Lampung Selatan.
o Sebelah selatan berbatasan dengan Parerejo.
Jumlah penduduk Pekon Blitarejo sebanyak 2597 jiwa.

2. Struktur Pemerintahan

Pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus tahun 2007 memiliki dua dusun , yaitu dusun 1 dan dusun 2 yang terdiri dari dua belas RT, masing-masing dipimpin oleh satu kepala dusun dan ketua RT.
Adapun struktur organisasi pemerintahannya adalah seperti terlihat pada gambar 1 sebagai berikut:

Gambar 1 : Struktur Pemerintahan


STRUKTUR PEMERINTAHAN
PEKON BLITAREJO KECAMAAN GADINGREJO KAB. TANGGAMUS



3. Aspek Ekonomi, Pendidikan, Pertahanan dan Keamanan

Pada pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus tahun 2007 masih banyak aspek yang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah daerah, antara lain:

a. Aspek Ekonomi
Jumlah penerima raskin Pekon Blitarejo ini mencapai 358 Kepala Keluarga (52,49 %.) dari 682 Kepala Keluarga. Warga pekon Blitarejo bermata pencaharian bertani. (50%), sebagian besar mereka hanya menggarap lahan pertanian orang lain sebagai buruh tani. Untuk memperoleh tambahan penghasilan memenuhi kebutuhan keluarga, mereka membuka usaha mobiler.

b. Aspek Pendidikan
Dilihat dari aspek pendidikan, sebagaian besar warga masyarakatnya hanya lulusan SD atau SMP. Sedangkan keuangan pekon yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pemerintahan pekon dan pemberdayaan masyarakat pekon tidak mencukupi dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat pekon. Tentu saja bukan hanya untuk program pengentasan kemiskinan, tetapi juga untuk merealisasikan aspirasi masyarakat baik pembangunan fisik maupun nonfisik.

c. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Dukungan masyarakat dalam upaya pertahanan dan keamanan masih kurang, seperti dalam dalam pengentasan miras, semua warung diundang untuk musyawarah. Dari 50 warung hanya 5 warung atau sekitar 10 % yang turut berpartisipasi.

B. Hasil Pengamatan

1. Usaha-usaha optimalisasi tupoksi perangkat pekon dalam memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat

Dari wawancara yang penulis lakukan dengan kepala pekon, diketahui usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus dalam rangka optimalisasi Tupoksi perangkatnya untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1: Usaha-usaha Optimalisasi Tupoksi Perangkat Pekon serta Pelayanan yang telah dilakukan kepada Masyarakat di Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Tanggamus Lampung Tahun 2007

No. Jabatan Tupoksi Pelayanan Yang Telah Diberikan Usaha-usaha Optimalisasi
1. Kepala Pekon Mengkoordinir dan mengatur Tupoksi seluruh perangkatnya Mengurus ke- pentingan seluruh warga masyarakat dengan bantuan seluruh perangkat yang ada
- Kepala pekon turun tangan secara langsung dan menjadikan dirinya sebagai contoh bagi perangkat-perangkatnya

- Kepala pekon membuat kesepakatan dengan para perangkatnya untuk melaksanakan sistem kerja On Line

- Para perangkat bekerjasama dengan BHP sebagai sarana independen masyarakat untuk mengontrol kinerja para perangkat pekon

- Para perangkat mengadakan rapat terbuka dengan masyarakat setiap kali akan melaksanakan program pekon, terutama program pembangunan
2. Juru Tulis Membantu kepala desa dalam melaksanakan tugas-tugas administrasi
Mewakili atau menggantikan tugas kepala pekon bila sedang tidak ada ditempat
3. KAUR Umum Mengontrol kegiatan di pekon Mengontrol semua kegiatan yang sedang di lakukan di pekon

4. KAUR Pembangunan Mensukseskan program pembangunan di pekon, baik pembangunan fisik maupun nonfisik Pembangunan fisik seperti :
pengerasan dan pembangunan jalan, pembangunan gorong-gorong, pembuatan talut, perbaikan sarana irigasi dll

5. KAUR Pemerintahan Melakukan pendataan penduduk, penataan data kependudukan dan masalah administrasi tentang penduduk
Melakukan pendataan penduduk mengenai penduduk yang lahir dan meninggal
6. KAUR Keuangan Mengurus masa- lah keuangan pekon terutama mengenai masa- lah pembiayaan pengelolaan desa, baik yang berupa uang maupun barang lainnya
Mengelola bantuan yang didapat baik dari LSM, Pemda maupun Pemerintah Pusat
7. KAUR Kesra Mengurus masalah kesejahteraan warga masyarakat pekon, terutama masalah kesejahteraan masyarakat miskin juga mengurus pembagian bantuan yang ditujukan kepada masyarakat miskin seperti, dana JPS, dana BLT maupun Raskin. Menyalurkan dana bantuan yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin

Sumber: Dokumentasi dan hasil wawancara dengan Kepala Pekon dan Beberapa
Perangkatnya tanggal 19 Juni s.d 20 Juni 2007


2. Hambatan-hambatan optimalisasi tupoksi perangkat pekon dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat

Dari wawancara yang penulis lakukan dengan kepala pekon, diketahui beberapa hambatan yang dihadapi oleh pemerintah pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus dalam rangka optimalisasi Tupoksi perangkatnya untuk memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, yaitu:

a. Tingkat pendidikan perangkat pekon yang masih relatif rendah

Masalah tingkat pendidikan termasuk hambatan utama dalam optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di pekon Dilihat dari tingkat pendidikannya perangkat pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus.masih belum memadai untuk dapa memberikan pelayanan prima kepada masyarakatnya, seperti terlihat pada tabel 2 berikut ini.


Tabel 2: Tingkat Pendidikan Perangkat Pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo Tanggamus Lampung Tahun 2007

No. Jabatan Tingkat Pendidikan
1. Kepala Pekon SMA
2. Juru Tulis SPG
3. KAUR Umum SD
4. KAUR Pembangunan SD
5. KAUR Pemerintahan SMEA
6. KAUR Keuangan SD
7. KAUR Kesra SD

Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Pekon tanggal 19 Juni 2007


b. Kondisi ekonomi perangkat maupun warga yang masih kurang

Dari hasil wawancara dengan kepala pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo diketahui bahwa kondisi ekonomi atau mata pencaharian perangkat dan warga masyarakat ikut menentukan dalam pembangunan. Demikian juga dalam rangka optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon agar dapat memberikan memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, kondisi ekonomi yang dapat menjadi penghambat tampak pada tabel 3 berikut:

Tabel 3: Kondisi ekonomi perangkat dan warga pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus Lampung tahun 2007

No. Klasifikasi Pekerjaan Jumlah (dalam persen)
1. Pegawai (Negeri/Swasta) 5
2. Petani pemilik 20
3. Petani penggarap (Buruh Tani) 75

Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Pekon dan Beberapa Perangkatnya
tanggal 20 Juni 2007



c. Kesejahteraan perangkat pekon yang masih minim

Dari hasil wawancara dengan kepala pekon Blitarejo Kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggaamus, diketahui bahwa tingkat kesejahteraan yang dapat menjadi faktor penghambat untuk optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus, seperti terlihat pada tabel 4 sebagai berikut :

Tabel 4: Tingkat kesejahteraan perangkat pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus Lampung tahun 2007

No. Jabatan Jumlah Tunjangan Per Bulan (dalam RP)
1. Kepala Pekon 800.000
2. Juru Tulis 300.000
3. Kepala-kepala Urusan 150.000

Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Pekon dan Beberapa Perangkatnya
tanggal 20 Juni 2007


d. Kurangnya dukungan warga masyarakat dalam pelaksanaan Tupoksi perangkat pekon

Dari hasil wawancara dengan perangkat pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus, diketahui pula bahwa dukungan warga masyarakat sangat penting artinya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi perangkat pekon di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus, seperti tampak pada tabel sebagai berikut:

Tabel 5: Dukungan warga masyarakat dalam pelaksanaan Tupoksi perangkat pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus Lampung tahun 2007

No. Contoh Kegiatan sebagai Realisasi Tupoksi Perangkat Pekon Dukungan Masyarakat
1. Bidang keamanan (Siskamling, Miras) Kurang
2. Bidang pemerintahan (Mekanisme kepemimpinan) Kurang
3. Bidang Pembangunan ( Fisik) Kurang

Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Pekon dan Beberapa Kaur tanggal 20
Juni s.d 22 Juni 2007



2. Solusi yang Diupayakan Pemerintah Pekon Blitarejo Dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan tersebut


Dari hasil wawancara dengan perangkat-perangkat pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus, diketahui solusi yang telah diupayakan untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi perangkatnya agar dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat sebagaimana terlihat pada tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6:Solusi mengatasi hambatan optimalisasi tugas pokok dan fungsi perangkat pekon dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus

No. Hambatan Solusi
1. Tingkat pendidikan perangkat pekon yang masih relatif rendah Kepala Pekon melanjutkan kuliah
2. Kondisi ekonomi perangkat maupun warga yang masih kurang - Bekerjasama dengan LSM Bina Lestari untuk memperoleh bantuan
- Mengupayakan dana stimulan
- Mengupayakan bantuan Raskin
3. Kesejahteraan perangkat pekon yang masih minim Menetapkan jam kerja yang hanya dua hari untuk memberi kesempatan perangkat mencari kerja sampingan
4. Kurangnya dukungan warga masyarakat dalam pelaksanaan Tupoksi perangkat pekon Mengadakan penyuluhan melalui pengajian-pengajian yang oleh masing-masing RT diantaranya pengajian ibu-ibu yang diadakan setiap hari Jumat, pengajian rutin setiap malam jumat dan malam Senin serta pertemuan risma

Sumber: Hasil wawancara dengan Kepala Pekon tanggal 22 Juni 2007



C. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan dokumentasi seperti tersebut di atas, dapat dibahas permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

1. Usaha-Usaha yang Dilakukan

Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat diambil pengertian bahwa pemerintah pekon Blitarejo telah berusaha melakukan optimalisasi Tupoksi para perangkatnya dengan cara:
a. Kepala pekon Turun tangan secara langsung dan menjadikan dirinya sebagai contoh bagi perangkat-perangkatnya. Artinya, kepala pekon membimbing langsung semua perangkatnya dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.. Jadi Kepala Pekon tidak hanya memberikan teorinya saja tetapi langsung prakteknya dilapangan. Hal ini merupakan peristiwa yang jarang terjadi, sekaligus keteladanan yang perlu ditiru semua pihak, sebab jarang sekali ditemui keteladanan yang dimulai dari tingkat bawah. Selama ini dikenal dan membudaya sistem kepemerintahan dengan keteladanan yang bersifat topdown. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang luar biasa bentuk keteladanan yang telah dilakukan oleh kepala pekon Blitarejo tersebut, mengingat segala keterbatasan yang dimilikinya.

b. Kepala pekon membuat kesepakatan dengan para perangkatnya untuk melaksanakan sistem kerja On Line dalam melayani masyarakat secara prima.
Dwiyanto Indiahono dalam buku Reformasi ”Birokrasi Amplop” Mungkinkah? (2006:55) mengatakan bahwa “Pelayanan prima pada hakekatnya adalah memberikan warga negara hak yang harus diterimanya. Warga negara berhak mendapatkan pendidikan layak, kesehatan serta rasa aman .......”. Sedangkan kepala Pekon Blitarejo berpendapat bahwa pelayanan prima adalah pelayanan yang setiap saat dapat diberikan kapan pun dan dimana pun. Misalnya yang telah dilakukan adalah melayani masyarakat dalam kepengurusan KTP/ KTP sementara, kartu keluarga, surat nikah, surat jalan, surat pindah, surat cerai talak, surat jual beli maupun surat-surat penting lainnya. Pelayanan ini diberikan kepada masyarakat secara On Line, sekalipun kantor pekon hanya buka selama 2 hari dalam satu minggu. On Line yang dimaksud adalah setiap perangkat pekon selalu siap memberikan pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan cara menggunakan rumah-rumah mereka sebagai kantor kedua pada saat mereka berada di luar jam kerja yang hanya 2 hari tersebut.

Upaya menjadikan rumah-rumah para perangkat sebagai kantor kedua dalam sistem On Line karena kondisi kantor kepala pekon benar-benar tidak layak lagi untuk digunakan, merupakan hal yang patut dibanggakan. Upaya menjemput bola seperti ini sulit sekali untuk dilakukan dalam kondisi sarana dan prasarana yang sangat terbatas.

Namun demikian pelayanan yang telah dilakukan oleh perangkat pekon akan dapat lebih maksimal apabila jam kerja para perangkat bisa di tambah dari 2 hari dalam seminggu menjadi minimal 5 hari dalam seminggu. Hal ini tidak hanya membuat para perangkat dapat bekerja lebih maksimal tetapi sekaligus dapat mengatasi penggunaan rumah sebagai kantor ke dua, sehingga dalam melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga para perangkat pekon tidak terganggu oleh urusan pelayanan terhadap masyarakat. Tentunya hal ini memerlukan campur tangan pemerintah yang lebih tinggi dalam hal ini kabupaten untuk membantu perbaikan sarana prasarana, terutama perbaikan kantor kepala pekon agar layak untuk digunakan. Dengan demikian para perangkat akan merasa nyaman bekerja, demikian juga halnya dengan masyarakat yang dilayaninya.

c. Para perangkat bekerjasama dengan BHP sebagai sarana independen masyarakat untuk mengontrol kinerja para perangkat pekon

BHP adalah Badan Himpunan Pamong praja yang mempunyai sifat independen, sehingga dapat diajak bekerjasama oleh para perangkat pekon untuk memberdayakan masyarakat dalam menyalurkan aspirasi mereka untuk mengkritisi kinerja perangkat pekon. Ini merupakan salah satu wujud/ bentuk dari proses demokratisasi. Akan tetapi, menurut hemat penulis akan lebih bermakna apabila BHP sebagai lembaga yang bekerja sama dengan perangkat pekon, tidak hanya terbatas pada pemberdayaan masyarakat dalam menyalurkan aspirasi untuk memberikan kritik dan saran terhadap kinerja perangkat pekon, tetapi juga mengajak masyarakat untuk ikut mengoptimalkan tupoksi perangkat pekon dengan memberikan dukungan dan kerjasama yang baik di bidang lain, sehingga program-program perangkat pekon dapat berjalan. Dengan demikian dimungkinkan pemerintah daerah/ pemerintah pusat akan tertarik memberikan bantuannya lebih dari yang selama ini mereka terima, baik yang bersifat moril maupun materiil.

d. Para perangkat mengadakan rapat terbuka dengan masyarakat setiap kali akan melaksanakan program pekon, terutama program pembangunan. Ini merupakan bentuk usaha yang mengarah kepada terciptanya keterbukaan/ transparansi para perangkat terhadap warga masyarakat yang dipimpinnya, sekaligus melatih mereka untuk hidup secara demokratis. Dengan demikian secara tidak langsung warga masyarakat telah diajari untuk berbuat bijaksana, berjiwa besar, tidak prasangka dan yang lebih penting dapat menghargai orang lain. Ini akan menjadi kunci yang tidak ternilai untuk mewujudkan persatuan warga, sehingga dapat membantu upaya pengembangan pekon secara lebih luas, tidak terbatas pada pelaksanaan program pembangunan saja, apalagi hanya terbatas pada pembangunan bersifat fisik.

Hal di atas terlihat dari pelaksanaan kegiatan pekon yang mengacu pada kegiatan pembangunan seperti: pengerasan dan pembangunan jalan, pembangunan gorong-gorong, pembuatan talut, perbaikan sarana irigasi, pembangunan jembatan dan perencanaan pembuatan lapangan sepakbola.

Dari kenyataan di atas, akan lebih baik apabila ajang rapat terbuka tidak hanya membicarakan program pembangunan yang bersifat fisik, tetapi juga pembangunan non fisik, bahkan meluas pada bidang-bidang yang lain seperti pemerintahan, administrasi, kesehatan, pendidikan dan lain-lain.

2. Hambatan-hambatan

a. Masalah tingkat pendidikan perangkat pekon

Dalam memberikan pelayanan prima tentunya harus didukung perangkat-perangkat yang handal atau akuntabel, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun pada kenyataannya terlihat pada tabel 2 diatas, tingkat pendidikan rata-rata perangkat pekon masih relatif rendah. Akibatnya Kepala Pekon harus bekerja ekstra dalam mensukseskan semua program yang telah dibuat. Selain itu tidak dapat membagi tugas dengan baik sehingga terkadang Kepala Pekon yang harus mengerjakan tugas-tugas perangkat pekon yang lain sendiri dan penyusunan program kerja juga belum terperinci. Hal ini terkait dengan pola pikir perangkat pekon yang lambat sehubungan dengan pendidikan perangkat pekon yang masih relatif rendah tersebut.

Rendahnya tingkat pendidikan para perangkat pekon tidak lepas dari kondisi mereka yang serba terbatas baik secara sosial budaya maupun secara ekonomi. Secara sosial budaya, mereka terwarisi pemikiran dan kebiasaan orang tuanya maupun lingkungan masyarakat kampung yang umumnya beranggapan bahwa penddikan tidak menjamin seseorang untuk hidup sejahtera/ bahagia, sebab kebahagiaan bagi mereka diukur dengan materi. Sedangkan secara ekonomi mereka rata-rata tergolong ekonomi lemah/ kurang, terbukti dari banyaknya gakin, sehingga tidak mungkin dapat menempuh pendidikan yang cukup layak.

Kenyataan inilah yang menjadi salah satu hambatan dalam pelaksanaan program kerja para perangkat dalam menjalankan Tupoksinya. Misalnya saja pelaksanaan program pembangunan yang terpaksa dilakukan secara spontan/ tidak terprogram secara rinci, artinya pemerintah pekon hanya melihat aspek-aspek apa saja yang perlu dibangun tanpa menetapkan suatu target pencapaian. Hal-hal seperti ini tentu sangat disayangkan, menimbang bahwa pemerintahan pekon adalah suatu organisasi yang cukup kompleks.

b. Masalah ekonomi perangkat pekon dan warga masyarakat

Menurut Kepala Pekon dan beberapa perangkatnya selain masalah faktor pendidikan yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah faktor ekonomi. Seperti terlihat pada tabel 3 di penyajian data bahwa 75% warga Blitarejo kategori pekerjaannya adalah sebagai petani penggarap/ buruh tani. Hal ini dapat diartikan bahwa mayoritas penduduknya berekonomi lemah/ kurang, sebab hanya kerja sebagai buruh.

Akibat dari hal di atas, untuk mencari perangkat pekon di Pekon Blitarejo ini sangat sulit, terbukti dengan hasil wawancara penulis dengan perangkat pekon bahwa pemerintahan pekon sempat vakum dua tahun, karena tidak ada yang mau menjadi perangkat pekon. Sebab menurut sebagian besar masyarakat menjadi perangkat pekon tidak ada untungnya jika dipandang dari segi ekonomi. Apalagi semua penduduk tidak mempunyai lahan pendapatan artinya penduduk yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani hanya mengerjakan lahan milik orang lain yang bukan hanya penduduk setempat. Dengan demikian sebagai petani mereka tidak dapat menjadi tuan rumah di lahan yang digarapnya.

Faktor ekonomi, selain mempersulit untuk mencari perangkat pekon tetapi juga mempengaruhi kedisiplinan waktu kerja para perangkat pekon. Terbukti dengan dipadatkan kembali hari kerja mereka dikantor yang hanya dua kali dalam seminggu sementara yang idealnya enam kali dalam seminggu. Namun demikian, selain kurang disiplinnya perangkat pekon juga karena masyarakat masih enggan memanfaatkan jam kerja di kantor, mengingat kondisi kantor yang tidak layak dan belum/ tidak terbiasa dengan pekerjaan tersebut.

c. Masalah kesejahteraan perangkat pekon

Dari tabel 4 tentang tingkat kesejahteraan perangkat pekon dapat dilihat bahwa tunjangan yang diberikan pemerintah kepada para perangkat belum sebanding dengan tugas dan tanggungjawab yang diembannya. Hal ini menurut beberapa perangkat pekon membuat mereka menjadi kurang motivasi untuk melaksanakan Tupoksinya. Mereka beranggapan tidak menguntungkan bekerja sepenuhnya menjadi perangkat pekon, karena hanya menyita waktu tanpa dapat mengatasi kebutuhan ekonomi keluarga. Mereka masih harus kerja sampingan untuk dapat menutup semua keperluan rumah tangganya.
d. Masalah dukungan masyarakat

Tabel 5 pada penyajian data, memperlihatkan bahwa dukungan warga masyarakat terhadap kegiatan para perangkat pekon dalam melaksanakan Tupoksinya juga masih kurang. Ini tidak hanya dalam kegiatan bidang keamanan tetapi juga bidang pemerintahan dan pembangunan.

Dalam bidang keamanan, ternyata kesadaran masyarakat masih kurang. terbukti dengan adanya jadwal ronda. tetapi tidak dilaksanakan karena masyarakat menganggap bahwa Pekon Blitarejo telah aman. Anggapan bahwa keamanan pekon yang sudah terjamin membuat masyarakat melupakan tanggung jawab untuk menjaga keamanan pekon. Hal-hal seperti ini justru dapat membuka peluang terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Seharusnya masyarakat pekon dan perangkat pekon menyadari bahwa pembuatan jadwal ronda sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya tindak kejahatan di Pekon Blitarejo. Perangkat pekon pun seharusnya menyadari bahwa untuk penjagaan keamanan pekon tak cukup hanya dengan menghimbau saja untuk selalu waspada di rumah masing-masing. Padahal keamanan pekon sangat mendukung jalannya kepemerintahan agar selalu kondusif.




3. Solusi yang Dilakukan


Dari tabel 6 pada penyajian data tampak bahwa Solusi yang Diupayakan Pemerintah Pekon Blitarejo Dalam Mengatasi Hambatan-Hambatan yang ada sudah cukup baik apabila dikaitkan dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Untuk lebih jelasnya dapat dipaparkan sebagai berikut:

1. Untuk mengatasi masalah tingkat pendidikan perangkat pekon yang masih rendah, kepala pekon berusaha menempuh pendidikan lebih lanjut (kuliah) dengan harapan dapat meningkatkan kinerjanya. Hal ini dilakukan ditengah-tengah tugasnya sebagai kepala pekon dan juga dengan biaya pribadi. Tentunya bukan hal yang mudah untuk dilakukan oleh setiap orang, kecuali bagi yang memiliki motivasi tinggi seperti kepala pekon tersebut.

Seyogyanya kenyataan tersebut di atas dapat menjadi rangsangan bagi pemerintah kabupaten untuk memberikan prioritas bantuan kepada pekon ini, sebab telah memiliki modal motivasi yang cukup tinggi untuk melakukan optimalisasi Tupoksi perangkat pekon di bidang pendidikan. Bantuan tersebut dapat dilakukan melalui berbagai hal, misalnya memberikan bea siswa untuk melanjutkan pendidikan bagi perangkat pekon secara keseluruhan dengan cara bertahap, hingga nantinya dicapai tingkat pendidikan tertentu sehingga layak menduduki jabatan sebagai perangkat pekon. Dalam jangka pendek dapat membantu dengan cara memberikan pelatihan-pelatihan kepada para perangkat, sehingga mereka dapat meningkatkan kinerjanya, walaupun tingkat pendidikannya belum meningkat.

2. Untuk mengatasi masalah ekonomi pemerintah pekon mengusahakan bekerjasama dengan sektor swasta, salah satunya adalah LSM Bina Lestari untuk memperoleh bantuan. Kucuran dana yang diberikan LSM tersebut terbilang cukup besar yaitu dengan total 10 M untuk masa 6 tahun dari tahun 2002-2008, yang diperuntukan kepada 500 Kepala Keluarga yang masuk dalam kategori rumah tangga miskin. Dana tersebut diberikan untuk penuntasan kemiskinan melalui peningkatan gizi anak balita, perahaban bangunan sekolah, pembuatan WC umum dan pemugaran rumah.
Selain itu dana bantuan juga dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat melakukan usaha mobiler yang merata hampir disetiap rumah dan hasilnya dipergunakan untuk menambah penghasilan guna memenuhi kekurangan biaya hidup sehari-hari.

Melihat kenyataan ini, menurut pemikiran penulis penggunaan dana bantuan dari LSM Bina Lestari yang totalnya 10 Milyar untuk jangka 6 tahun, dengan peruntukan sebagaimana diuraikan di atas, akan lebih memotivasi pemerintah pekon meningkatkan kinerjanya apabila diimbangi dengan dana stimulan dari pemerintah daerah yang seimbang. Dana stimulan yang diberikan pemerintah daerah tiap akhir tahun yang berjumlah 20 juta dengan penggunaan untuk membangun lima belas gorong-gorong (pembangunan fisik), pemberdayaan pekon, dana operasional perangkat pekon, dana operasional kantor, BHP, PKK, organisasi pemuda, media masa dan untuk pembuatan proposal, belum seimbang dibandingkan dengan dana bantuan dari LSM Bina Lestari, sebab totalnya dalam 6 tahun hanya 120 juta. Hal ini merupakan perbandingan yang tidak seimbang, sehingga dapat menurunkan motivasi perangkat desa untuk meningkatkan kinerja sekaligus loyalitasnya terhadap pemerintah daerah, sebab merasa kurang dihargai dan diperhatikan.

Dalam penyampaian bantuan (raskin), pemerintah Pekon Blitarejo mengupayakan penyaluran seefektif mungkin dan berusaha membagikan kepada penduduk secara merata. Awalnya penerima raskin sebanyak 179 Kepala Keluarga dan masing-masing Kepala Keluarga mendapatkan 10 Kg. Namun karena ada kecemburuan sosial antar masyarakat yang menerima dan tidak menerima raskin. Maka disepakati pembagian raskin dikurangi per Kepala Keluarga dari 10 Kg menjadi 5 Kg. Namun yang menjadi prioritas utama tetap penerima jatah awal yang terdaftar di Badan Pusat Statistik (BPS).

3. Untuk mengatasi masalah kesejahteraan para perangkat pekon yang masih minim, pemerintah pekon sepakat menetapkan jam kerja yang hanya dua hari untuk memberi kesempatan perangkat mencari kerja sampingan. Selain hal ini dipakai dalam sistem pelayanan masyarakat secara On Line, cara ini juga cukup membantu para perangkat menambah penghasilan untuk mencukupi kebutuhannya karena punya waktu luang yang dapat digunakan.

Namun demikian, menurut penulis cara ini bukanlah cara yang ideal sebab dalam sistem On Line seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa konpensasi dari 2 hari kerja adalah para perangkat harus siap setiap saat melayani masyarakat dengan menggunakan rumahnya sebagai kantor kedua. Dengan demikian apabila waktu yang lain digunakan untuk mencari kerja sampingan otomatis akan menghambat pelaksanaan tugas dengan sistem On Line tersebut. Artinya solusi ini di satu sisi merugikan masyarakat yang membutuhkan pelayanan prima, tetapi di sisi lain menguntungkan para perangkat pekon.
Berdasarkan analisis tersebut, penulis memandang lebih efektif apabila solusi untuk mengatasi hambatan kesejahteraan para perangkat adalah dengan bantuan pemerintah kabupaten berupa perbaikan tunjangan atau melakukan usaha-usaha lain yang syah oleh segenap warga melalui kesepakatan bersama sehingga dapat meningkatkan tunjangan para perangkat pekon. Dengan demikian tidak ada yang dirugikan, sebab perangkat dapat melaksanakan Tupoksinya lebih optimal tanpa harus disibukkan dengan upaya kerja sampingan, sedangkan masyarakat memperoleh pelayanan dengan prima sesuai dengan harapan bersama.






BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemerintah Pekon sudah berupaya semaksimal mungkin untuk melayani masyarakat dengan prima meski belum memiliki perangkat yang kualifaif serta dukungan sarana dan prasarana yang juga masih sangat minim.
2. Tingkat pendidikan, kondisi ekonomi, kesejahteraan dan dukungan masyarakat yang masih relatif kurang ternyata dapat mempengaruhi kinerja perangkat pekon yang menyebabkan Kepala Pekon harus bekerja ekstra.
3. Solusi mengatasi hambatan yang dilakukan oleh pemerintah Pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus dalam mengoptimalkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) perangkat pekon sudah sangat baik meskipun dalam keadaan yang tidak kondusif.

B. Saran

Memperhatikan hasil pengamatan dan pembahasan serata kesimpulan tersebut di atas, maka dapal upaya memperbaiki kinerja pemerintahan dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, khususnya di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut:
1. Hendaknya pemerintah pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus selalu berupaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan wawasannya melalui pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan atau pusat serta menjalin komunikasi dan kerjasama dengan pihak swasrta, LSM dan lain sebagainya
1. Hendaknya pemerintah daerah/ pemerintah pusat lebih memperhatikan pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus, sehingga perangkat pekon ini lebih termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan secara priodik..
2. Pemerintah pusat dan atau daerah hendaknya lebih memperhatikan masalah kesejahteraan perangkat pekon agar kinerja perangkat pekon bisa lebih baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya, terutama di pekon Blitarejo kecamatan Gadingrejo kabupaten Tanggamus.









DAFTAR PUSTAKA

Anwar,Desy. 2003. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru. Surabaya: Amelia.

Anwar,Desy. 2003. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Surabaya: Amelia.

Budiyanto. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara SMU Kelas 3. Jakarta: Erlangga.

http://id.wikipedia.org/wiki/Desa.

Tim Redaksi Lima Bintang. 2005.Undang Undang Otonomi Daerah.: Lima Bintang

Wiyati.2006.Pedoman Membuat Karya Tulis. Pringsewu: SMA 1 Press





LAMPIRAN 1

DAFTAR PERTANYAAN DALAM WAWANCARA PENULIS DENGAN PERANGKAT PEKON BLITAREJO KECAMATAN GADING REJO, TANGGAMUS.

 Untuk Kepala Desa :

1. Program apa saja yang ada ?
2. Program apakah yang sedang berjalan ?
3. Siapa sajakah perangkat desa itu ?
4. Apakah pendidikan perangkat desa ?
5. Adakah upaya untuk meningkatkan kualitas perangkat desa ?
6. Tupoksi dari perangkat desa ?
7. Siapa saja yang menjadi anggota dan ketua lembaga kemasyarakatan ?
8. Siapa saja anggota dan ketua BPD ?
9. Pelayanan apakah yang seharusnya diberikan para perangkat desa kepada masyarakat ?
10. Sejauh mana pelayanan yang diberikan perangkat desa kepada masyarakat?
11. Dalam pengelolaan desa, dari mana saja sumber dana didapat ?
12. Bagaimana cara pendataan masyarakat miskin di desa ini ?
13. Bagaimana teknis penyaluran bantuan yang diberikan kepada masyarakat ?
14. Kendala apa saja yang didapat dalam melayani masyarakat ?
15. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala tersebut ?

 Untuk Perangkat Desa :

1. Menurut anda tupoksi anda sebagai perangkat desa apa ?
2. Apa realisasi dari tupoksi anda sebagai perangkat desa ?
3. Bagaimana peran serta perangkat desa dalam mensukseskan program yang telah dibuat ?
4. Pelayanan apasaja yang telah anda berikan kepada masyarakat sebagai realisasi dari tupoksi anda sebagai perangkat desa ?
5. Sejauh ini apasaja kendala yang anda temui dalam menjalankan tupoksi anda sebagai perangkat desa ?
6. Bagaimana cara anda dalam mengatasi kendala tersebut ?

LAMPIRAN 2


DAFTAR NAMA-NAMA PERANGKAT PEKON BLITAREJO


No. Nama Jabatan Tingkat Pendidikan
1. Sarmin Kepala Pekon SMA
2. Samsudin Juru Tulis SPG
3. Muryono Kaur Pemerintahan SMEA
4. Turiman Kaur Pembangunan SD
5. Poniman Kaur Kesra SD
6. Atriatun Kaur Umum SD
7. Ngatmin Kaur Keuangan SD
Sumber: Dokumentasi Pekon Blitarejo