Jangan Remehkan Pengaruh Televisi Jakarta, Kompas

BELAKANGAN ini media massa menyajikan pandangan yang pro dan kontra terhadap draf Komisi Penyiaran Indonesia tentang Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Sebagian orang merasa apa yang diperdebatkan itu tak berkaitan langsung dengan kepentingan mereka, apalagi untuk anggota keluarga di rumah.
PADAHAL, JUSTRU merekalah menjadi konsumen utama siaran televisi. Apa ditampilkan pesawat di ruang keluarga sehari-hari bakal mewarnai kehidupan keluarganya kini, bahkan sampai masa mendatang. Sayangnya, selama ini bisa dikatakan tak banyak orangtua yang memberi perhatian pada pengaruh televisi terhadap tingkah laku atau kebiasaan anak-anaknya.
Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya respons pemirsa yang muncul terhadap program-program yang ditayangkan di layar kaca. Pemirsa di Indonesia tampaknya lebih suka menelan apa saja acara yang muncul pada pesawat televisinya. Mereka lebih memilih diam, dan tinggal memencet remote control bila acara yang ditampilkan satu stasiun televisi tidak sesuai dengan seleranya.
Sebagian orangtua bahkan tak peduli acara apa yang ditonton anaknya. Sepanjang si anak tidak bertanya atau bercerita, umumnya orangtua merasa apa pun yang disuguhkan televisi sebagai "teman" anaknya selama mereka tidak berada di rumah tak perlu dipermasalahkan.
Kalau toh ada pengaruh buruk televisi terhadap sebagian orang, maka sebagian lainnya menganggap hal itu sama sekali bukan urusannya. Padahal, sangat mungkin pengaruh buruk itu pun mengenai anggota keluarganya, hanya dia tak cukup jeli atau punya cukup waktu untuk memperhatikannya.
Ketika seorang ibu di Jakarta menulis surat pembaca tentang anak balitanya (berusia di bawah lima tahun) yang tiba-tiba gagap dan tidak lagi berbicara normal seperti biasa, ibu tersebut amat terkejut. Setelah diselidiki ternyata si anak mengikuti cara bicara Yoyo dalam sinetron Si Yoyo yang ditontonnya lewat layar kaca.
Meski ada keluhan yang mengemuka, toh sinetron itu tetap ditayangkan seperti biasa. Bagi umumnya pengelola stasiun televisi, sepanjang program tersebut bisa mengundang pengiklan berarti tak ada masalah.
Hal ini juga berlaku, misalnya, pada protes sebagian orangtua ketika stasiun televisi menayangkan acara anak-anak pada pagi hari. Acara itu menyerap perhatian si anak hingga mengganggu persiapan mereka pergi ke sekolah. Namun, ibarat pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, maka program itu pun tetap berjalan. Silakan para orangtua sibuk membujuk anaknya agar mengalihkan perhatiannya dari layar kaca.
DARI pengamatan psikolog Elly Risman seperti dikemukakannya pada lokakarya "Mengkritisi Draf Standar Tayangan Anak dan Remaja" yang diadakan Unicef bekerja sama dengan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) minggu lalu, orangtua yang diharapkan bisa berfungsi sebagai "sensor" untuk anak-anaknya dalam menonton televisi, kerap kali justru berfungsi sebaliknya, menjadi "pendorong" bagi anaknya untuk menonton televisi.
Dari penelitian kecil yang dilakukannya, Elly berkesimpulan, sebagian besar orangtua-terutama dari kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah-justru menjadikan anak-anaknya sebagai pemirsa televisi setia.
"Kalau ibunya bekerja, mereka akan berpesan pada anaknya untuk menonton sinetron anu. Setelah ibunya pulang, si anak menceritakan kisahnya agar si ibu tak ketinggalan cerita. Atau si ibu minta anaknya nonton AFI supaya ibunya tak ketinggalan berita siapa saja yang kena eliminasi," tuturnya.
Padahal, berdasarkan penelitian YKAI seperti dikemukakan B Guntarto, sekarang ini umummya anak sudah menghabiskan waktunya di depan televisi selama 35 jam seminggu atau sekitar lima jam sehari. Sedangkan idealnya, anak menonton televisi tak lebih dari dua jam per hari.
"Meskipun belakangan ini sebagian stasiun televisi sudah mencantumkan tanda bahwa program itu untuk orang dewasa, memerlukan bimbingan orangtua, atau memang acara yang dianggap pantas ditonton anak-anak, kenyataannya hanya sekitar 15 persen saja anak yang mengatakan selama menonton televisi didampingi oleh orangtuanya," Guntarto menambahkan.
Artinya, masih banyak orangtua Indonesia yang tak sadar pada dampak televisi terhadap perkembangan anak-anak mereka, apalagi mengkritisi acara-acara yang ditayangkan dari pagi hingga malam hari. Padahal, televisi sekarang ini bisa dikatakan bukan lagi barang mewah.
John Budd, Kepala Seksi Advokasi & Mobilisasi Sosial Unicef, mengatakan, televisi telah menjangkau sekitar 90 persen rumah tangga di Asia, termasuk Indonesia. Artinya, pengaruh televisi dalam kehidupan sehari-hari keluarga Indonesia tak bisa diremehkan.
Agus (33), ayah dari seorang anak laki-laki berusia 5,5 tahun, mengatakan, dia tak lagi mengizinkan anaknya menonton sinetron Si Yoyo setelah membaca keluhan ibu tentang perubahan cara bicara anaknya di koran. "Dalam sinetron Si Yoyo memang tidak ada adegan-adegan orang dewasa, tetapi di sana ada cerita tentang bencong. Dan, cara ayah si Yoyo marah-marah itu terlalu kasar buat mata anak-anak," katanya memberi alasan.
Dia termasuk orangtua yang memperhatikan apa saja acara kesukaan anaknya di layar kaca. Makanya, meski program film kartun sekalipun tak selalu bisa ditonton anaknya. "Misalnya film kartun Baby Huey. Di sini ditampilkan bagaimana salah satu tokohnya pecah dan bisa menyatu kembali dalam susunan yang kacau. Ada juga tiang dan tali untuk gantung diri. Menurut saya, hal ini terlalu berlebihan untuk anak-anak," lanjut Agus.
MEMANG tak semua pengaruh televisi bisa langsung tampak akibatnya pada anak-anak yang menjadi pemirsanya. Mungkin karena itulah sampai sekarang masih banyak orangtua yang membiarkan apa pun acara yang ingin ditonton anaknya, sepanjang itu tak lebih dari pukul 21.00.
Sebagian orangtua beranggapan, stasiun televisi telah menyeleksi program acaranya. Dengan demikian, semua acara yang ditayangkan sebelum sekitar pukul 21.00 relatif aman untuk konsumsi anak-anak. Padahal kalau dicermati, tak sedikit acara sebelum pukul 21.00 yang sebenarnya tak pantas ditonton anak-anak. Misalnya, film-film Warkop yang jelas-jelas selalu menyerempet pada hal-hal berbau seks.
Hera L Mikarsa dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dalam lokakarya itu menyoroti antara lain program yang mengetengahkan hal-hal berbau supranatural. "Bagaimana perlindungan untuk anak-anak, terutama anak-anak prasekolah yang belum dapat membedakan realitas dan fantasi?" ujarnya.
Sebuah penelitian tentang pengaruh televisi dan kemampuan otak anak yang dilakukan para ahli dari University of Washington, Seattle, Amerika Serikat, dan dimuat dalam jurnal Pediatrics menyebutkan, televisi telah mengubah cara berpikir anak. Anak-anak yang terlalu banyak menonton televisi biasanya akan tumbuh menjadi sosok yang sulit berkonsentrasi dan kurang perhatian pada lingkungan sekitar. Mereka hanya terpaku pada televisi.
Penelitian yang melibatkan lebih dari 2.500 anak itu juga menyebutkan bahwa satu jam menonton televisi sehari pada anak-anak usia 0 sampai tiga tahun akibatnya baru tampak ketika mereka berusia sekitar tujuh tahun. Sebagian anak itu mengalami problem berkonsentrasi.
Padahal di Jakarta, misalnya, tak jarang seorang ibu justru mendudukkan anak balitanya di depan televisi agar si anak mau makan, atau supaya anaknya asyik menonton televisi sementara si ibu mengerjakan pekerjaan lainnya. Mereka tak sadar bahwa tayangan televisi itu akan mempengaruhi perkembangan otak si anak.
Pada usia balita perkembangan otak tumbuh pesat, dan ini dipengaruhi oleh stimulasi yang diterima si anak dari lingkungan sekitarnya. Agar tak menimbulkan masalah pada anak di kemudian hari, The American Academy of Pediatrics bahkan merekomendasikan agar orangtua tak membiarkan anaknya yang berusia di bawah dua tahun untuk menonton televisi.
Begitu besarnya ketergantungan anak-maupun sebagian orangtua-pada televisi, hingga dalam menentukan tempat tujuan liburan pun sering kali keberadaan televisi menjadi salah satu pertimbangannya. Marianne (13) yang sejak kecil terbiasa ditemani televisi, bahkan memilih tidak ikut pergi daripada kehilangan acara televisi yang diminatinya.
Oleh karena itulah sebaiknya orangtua tak menyerahkan begitu saja seleksi acara yang bisa ditonton anaknya pada pengelola stasiun televisi. Jangan berharap stasiun televisi hanya menayangkan program yang cocok untuk semua umur pada jam di mana biasanya anak belum tidur.
Sebagai bagian dari industri, stasiun televisi lebih menyandarkan diri pada kepentingan bisnis demi kelangsungan hidupnya. Bisa jadi mereka tak terlalu peduli apakah program itu berpengaruh buruk atau baik untuk keluarga Anda. Salah satu faktor yang menjadi perhatian pengelola stasiun televisi adalah bagaimana membuat program yang bisa menarik minat pengiklan.
Kalau sekarang layar kaca dipenuhi dengan acara "seragam" seperti program supranatural, komedi yang menjurus ke masalah seks, atau acara kenyataan (reality show) dengan berbagai bentuknya, maka diperlukan perhatian Anda untuk menyeleksi tontonan yang disodorkan stasiun televisi.(ARN/CP)



















0 komentar:

Posting Komentar